Mencintai – Dengan cara KITA atau cara yang DIA inginkan?

20 September 2008 Sesungguhnya apa yang baik menurutmu belum tentu baik menurut Rabb-mu, dan apa yang buruk menurutmu belum tentu buruk menurut Rabb-mu” ============================== Assalamu alaikum.. Sesungguhnya dalam hubungan antar manusia, banyak faktor yang mendasari kualitas dari hubungan tsb. Dan sadar atau tidak, ayat di atas juga sangat bisa diterapkan dalam hal itu. Apa yang menurut kita baik, belum tentu mendapat persepsi yang sama oleh orang lain. Pun demikian sebaliknya. Ketika manusia saling berinteraksi antar sesamanya, entah dalam bentuk pertemanan, pacaran, organisasi, taaruf, sampai ke pernikahan, ada “perasaan” yang terbawa dalam hal tersebut. Secara umum, disepakati bahwa bunga dan coklat itu simbol romantisme. Nah masalahnya kalau kemudian pasangan kita tidak suka kedua hal tersebut apakah kita tetap memaksa untuk memberi? Apa kemudian kita anggap dia tidak romantis hanya karena tidak suka bunga dan coklat pemberian kita? Banyak yang menganggap memperlakukan wanita sebagai ratu adalah cara untuk menunjukkan cinta-kasih kita. Tapi sadarkah kita bahwa untuk sebagian wanita, mereka justru ingin mandiri. Perlakuan yang terlalu memperhatikan justru dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan akan kemampuan dirinya, salah satu bentuk “penghinaan” yang menganggap dirinya lemah dan tak berdaya. Bagaimana kalau ternyata ada orang yang merasa romantis dengan hal-hal yang dianggap tidak umum. Mereka lebih memilih ngebut dijalan raya daripada candle light dinner. Lebih suka film horor daripada roman picisan. Lebih menikmati musik rock yang hingar bingar daripada pop yang mellow. Bahkan lebih suka bau darah daripada wangi parfum. Nah loo.. Ups masih ada lagi. Bagaimana kalau kemudian dia adalah seorang ikhwan/akhwat yang dari luar tampak “normal” Sakit jiwa? Kelainan mental? Ada yang gak beres dengan otaknya? Ya itu menurut pandangan mereka yang merasa dirinya “normal”. Tapi menurut ikhwan/akhwat yang memiliki “kelainan” tersebut, justru orang lain yang dianggap tidak normal Got the point? Judul yang saya angkat: Mencintai – Dengan cara KITA atau cara yang DIA inginkan? Seringkali dalam proses membina sebuah hubungan antar 2 insan manusia (yang berlawanan jenis tentunya, kalau yg sejenis saya gak ikutan ) kita cenderung memaksakan apa yang menurut kita baik. Contoh mudahnya ya coklat, bunga dan perhatian tersebut. Yang jadi masalah adalah, ketika kita menemukan “cara” yang tepat untuk membina hubungan tersebut, orang lain bisa jadi menggap hal tersebut sebagai sebuah bentuk kegilaan atau ketidakwarasan. Hal itu bisa jadi karena “cara” yang ditempuhnya dianggap “tidak normal”. Pernah dengar teori tentang “cewek baik-baik dan pria berengsek” ? Sebuah hubungan antar wanita – yang umumnya baik2 dan lembut – dengan cowok2 preman yang cenderung urakan dan kasar. Sebagian akan menganggap si wanita membodohi dirinya sendiri dengan memilih pasangan dengan tipe tersebut. Lalu apakah jika ada cowok yang bersih, dandy, alim, ganteng dll mencoba mendekati si wanita maka dijamin wanita itu akan berpaling? No way! Keep on dreaming, dude Kenapa? Karena dalam sebuah hubungan, yang paling penting adalah “proses dan perasaan yang terjadi di antara keduanya”. Tidak bisa disimpulkan mereka yang jelek, kasar, miskin dan nilai2 “minus” lainnya maka selalu menjadi kaum yang dihindari. Tidak ada pula jaminan mereka yang kaya, ganteng, alim, dan nilai2 “plus” lainnya selalu menjadi incaran semua orang. ============================= Anggap ada seorang akhwat, sebut saja namanya Z. Bukan akhwat aktivis yang militan, tapi juga bukan wanita lemah yang hanya bisa mengeluh. Penampilan fisik cantik, smart, wawasan luas, cherfull, dll. Sempurna, kata sebagian orang. Kemudian ada 2 orang ikhwan yang mencoba melakukan taaruf dengannya. Ikwan pertama, sebut saja bernama P. Mr P ini *hush.. jangan porno!* ini tipikal pria yang merasa dirinya “normal” dan punya beragam nilai “plus” Merasa dirinya ganteng, memiliki karir yang cerah, ikut halaqah, banyak hafalan Qurannya, berperilaku baik, dan sejuta nilai plus lainnya hingga merasa bahwa dirinya adalah tipikal pria yang selalu dicari wanita. Di sisi lain, ada S yang sejatinya hanya pria biasa. Bukan ikhwan yg rajin liqo, shalat secukupnya, hafalan Quran standar, karir cukup, dll. Just ordinary man. Nah si P dan S ini memandang akhwat dari dua sisi yang berbeda. P melihat Z sebagai figur akhwat yang “sempurna” yang harus diperlakukan “sempurna” pula. Caranya? Dengan cara “standar” yang sesuai dengan kaidah orang “normal” pada umumnya. Sementara S melakukan dengan cara yang berbeda. Sadar bahwa seseorang saat ini adalah cerminan dari sebagian masa lalunya, maka S coba mencari tahu siapa akwat tsb. “Kegilaan” si akhwat di masa lalu – yang menurut sebagian orang adalah aib – justru dianggap biasa saja oleh S. Efeknya, si akhwat merasa lebih terbuka karena tak perlu lagi “jaim” terhadap S. Bahkan kemudian didapati kalau S juga memiliki “kesamaan” dalam hal-hal tersebut, yang akhirnya membuat keduanya merasa cocok satu sama lain. Adapun si P, tetap kekeuh dengan “cara” nya sendiri. Bahkan ketika terbukti proses taaruf yang dilakukan P terhadap si akhwat ditolak mentah-mentah (bahkan sampai 2x) rasa PDnya tetap tak juga berkurang. Kakak sang akhwat – secara implisit – memberi informasi bahwa saat ini adiknya sudah berproses dengan S. Apa tanggapan P? “Ah gak mungkin itu. Mana mungkin sih Z bisa sama S, dia itu kan orang aneh. Adik Mas itu pasti nanti nikahnya sama saya, percaya deh Mas.” Kenapa P menganggap S itu aneh? Karena P merasa dirinya “normal” dan S itu “tidak normal”. Karena P merasa si akhwat itu juga “normal” sehingga seharusnya mendapat orang “normal” seperti dirinya juga. Atau jangan2 sebenernya S dan Z itu normal, justru P yang tidak normal? Cuma masalah sudut pandang aja kan Mencintai – Dengan cara KITA atau cara yang DIA inginkan? Idealnya adalah cara kita sesuai dengan apa yang dia inginkan, sehingga keduanya saling bertemu. Agar keduanya saling melengkapi, saling mengisi dan membahagiakan. Agar tak ada yang nantinya merasa terzhalimi karena merasa selama ini selalu mengalah. Lalu bagaimana jika didapati ternyata cara kita tidak sesuai (bahkan bertolak belakang) dengan apa yang dia inginkan? One simple-stupid-answer: go find another one. Jangan mencoba meminta dan memaksa dia untuk “menerima kita apa adanya”. Atau sebaliknya, memaksa diri kita untuk bisa sesuai dengan apa yang dia minta. Jangan pernah merasa bahwa cara yang kita yakini benar kemudian membuat dirinya terpesona. Jika ada ikhwan teknik melakukan proses dengan akhwat kedokteran misalnya, bisa jadi hafalan 1 bab anatomi tubuh lebih dihargai dibandingkan 5 juz Al-Quran. Kenapa? Karena si akhwat melihat keseriusan si ikhwan untuk “mengenal” dunianya. Untuk bisa jadi “bagian” dari kehidupan si akhwat, mencoba “mengerti” lingkungannya, dan memandang dirinya dari sisi yang berbeda. Karena si ikhwan mencintai si akhwat, menurut cara yang akhwat inginkan =============================== So.. buat yang masih lajang, try to get a mirror. Look at your self, what have you done? Mungkin selama ini Anda hanya berfikir satu arah, menganggap bahwa bunga-dan-coklat selalu berarti romantis? Terlalu berpegang pada teori, makin tinggi “kualitas” diri Anda maka dipastikan orang lain akan mudah terpesona? Generally, YES. Tapi masalahnya ketika proses untuk menikah, hubungan itu hanya 1 vs 1. Antara Anda dengan (calon) pasangan. Pada saat itu yang dinilai bukan hanya kulit luarnya, tapi juga sisi lain dari diri kita yang mungkin selama ini tidak kita sadari. Cara kita “memandang” dan “memperlakukan” dirinya akan sangat berpengaruh.