kau bertanya
“pantaskah aku untuk dicinta?” dengan logat acehmu yang khas dan lucu. dan
setelah itu kau bilang “kenapa sih disetiap aku bertanya padamu kau selalu saja
tersenyum? apakah itu sebuah lawakan buatmu? cobalah untuk serius padaku.”
aku mendekat
dan mulai membelai kepalanya “aku serius, dan senyuman itu adalah jawaban”. dia
menatapku bingung dan seperti biasa aku hanya tersenyum.
“tolong jawab
dengan kata, pantaskah aku dicintai?” katanya lagi dengan sedikit nada emosi
(mungkin). dan dia menatapku lekat dan berharap aku mengeluarkan sepatah jawaban
dari tanya yang sering terlontar dari mulutnya.
dan jawabku
hanya…. tersenyum.
dia saat itu
ingin menghujatku dengan berbagai macam ocehan namun tertahan saat telunjukku
menyentuh bibirnya. dan aku menjawab “kau pantas dicintai, mengapa kau bertanya
demikian? padahal kau pasti sudah mengerti jawabannya?” aku bertanya balik.
“karena aku
merasa tak pantas untuk dicintai, aku selalu dicurangi oleh cinta, aku selalu
dihujat jahat oleh cinta. aku selalu sakit karenanya. apakah seperti itu masih
dikata pantas untuk dicinta?”
aku
tersenyum dan menjawab ” kau masih tetap pantas untuk dicinta, setiap orang
pantas dicinta. kau selalu dicurangi oleh cinta bukan berarti kau tak pantas
untuk dicinta melainkan kau sangat pantas untuk dicinta. kecurangan itu
hanyalah fase pengenalan antara kau dengan cinta”
dia hanya
menggangguk dan tersenyum