Hidup itu Mengalir, Asalkan...

Hampir satu bulan saya tidak melakukan aktivitas menulis seperti biasanya,terutama di blog ini dikarenakan padatnya aktivitas yang harus saya kerjakan akhir-akhir ini. namun akhirnya ada sedikit waktu senggang yang saat ini akan coba saya manfaatkan untuk berbagi kepada pembaca sekalian. apa yang akan saya bagi beberapa saat lagi adalah hal yang saya dapatkan ditengah padatnya aktivitas saya beberapa waktu kemarin.
     Aktivitas saya memang cukup padat akhir-akhir ini karena ada beberapa project yang mengharuskan saya pergi ke beberapa wilayah di timur pulau jawa untuk bertemu dengan beberapa orang. Dikala kesibukan saya bertemu dari satu orang ke orang lainnya itulah saya pada akhirnya bertemu dengan seseorang yang kemudian mengajak saya untuk berpikir lebih dalam mengenai apa yang selama ini masyarakat pahami. konteks perbincangannya tidak lain adalah sesuatu yang menjadi judul tulisan saya kali ini yaitu mengenai hidup yang mengalir. 
     Hidup itu mengalir seakan sudah menjadi pemahaman yang lumrah di kalangan masyarakat. tidak hanya masyarakat desa, namun masyarakat kota pun beberapa ada yang memiliki pemahaman seperti ini. sering sekali di beberapa kesempatan perbincangan dengan masyarakat desa, menyiratkan bahwa bagi mereka,hidup itu mengalir saja. selama mereka bisa makan dan hidup maka itu sudah cukup bagi diri mereka dan mereka sudah tidak menginginkan hal lainnya lagi karena tinggal menjalani apa yang ada di depan mereka saja nantinya.
     Begitu pula di masyarakat kota yang tanpa sadar juga memiliki mindset seperti ini. hal yang sering saya temui adalah bahwa beberapa rekan saya sendiri yang juga sebagai pemuda dan mahasiswa menerapkan pola hidup itu mengalir dalam kesehariannya. hasilnya sudah bisa ditebak yaitu dia tidak akan tau ke depannya ingin jadi apa dan apa yang akan dilakukannya ke depan. yang bisa dia lakukan hanya menjalani apa yang ada di depannya saja. Tidak ada yang salah memang apabila kita memaknai bahwa sebuah kehidupan itu mengalir saja,namun alangkah lebih baiknya apabila kita mencoba menelaah lebih dalam mengenai makna dari kata "hidup itu mengalir" beserta dampak positif dan negatifnya pemahaman itu bagi diri kita
     Hidup itu mengalir seakan membawa kita pada sebuah mindset yang mengarahkan diri kita untuk pasrah saja atas apa yang ada di depan kita. sama ibaratnya dengan sebuah air yang mengalir dan hanya mengikuti arus dan arah yang sudah ada saja, karena ya tentu saja air tidak bisa memilih kemana dia akan mengalir. 
Nah,pemahaman berbeda yang saya dapatkan dari seseorang yang saya temui tadi adalah "hidup itu boleh mengalir,asalkan kita membuat paritnya juga". statement ini membuat saya cukup terpana sesaat dan selanjutnya yang saya lakukan adalah menyepakati statemen tersebut.  :)
     Benar sekali bahwa hidup itu memang mengalir,tapi yang harus kita ingat adalah kita juga harus membuat paritnya atau yang saya tangkap maknanya adalah kita juga harus merancang kemana arah kita ke depannya. Hal ini penting agar kita tidak asal menjalani apa saja yang ada di depan kita,melainkan kita mencoba merancang sendiri apa yang akan kita jalani nanti di masa depan.
     Pada dasarnya manusia memang diharuskan untuk membuat rencana agar kehidupannya lebih terarah meskipun hasil akhirnya bukanlah manusia itu sendiri yang akan menentukan melainkan Tuhan. setidaknya,dia telah berusaha menata kehidupannya yang tentu saja itu lebih baik ketimbang mereka yang hanya menjalani apa yang ada di depan mereka saat ini tanpa mencoba merencanakan kehidupan mereka di masa depan

Dominasi Perasaan dalam Memandang Sebuah Permasalahan

Kamu nggak punya perasaan! Teriak seorang wanita pada seorang pria dalam sebuah kesempatan yang saya dengar. tampaknya kedua orang ini sedang bertengkar cukup hebat di pinggir sebuah jalan yang ada di Kota Malang dalam sebuah malam. kedua orang yang sedang bersitegang ini sebenarnya bukanlah pejalan kaki karena tidak jauh dari tempat mereka bertengkar tersebut terparkir sebuah motor yang tadi digunakan oleh sang pria dan wanita. namun mereka mendadak berhenti untuk memperjelas pertengkaran mereka. Saya sendiri tidak berada tidak jauh dari mereka ketika momen ini terjadi karena disaat yang sama saya sedang berhenti sejenak untuk membalas beberapa sms yang masuk di Handphone saya. sambil membalas sms yang masuk tadi itulah mendadak perbincangan mereka terdengar sampai ke telinga saya. Senyum kecil pun mengembang sesaat dan kemudian saya berpikir "ini dia bahan tulisan saya". dan setelah itu saya pun berlalu meninggalkan kedua orang yang tadi bertengkar itu karena menurut saya isi pertengkaran mereka bukanlah sesuatu yang penting bagi diri saya dan tidak perlu diekspos lebih jauh. yang butuh diekspos lebih jauh adalah apa yang saya dapatkan dari momen sejenak tadi :)
        Dalam sebuah pertengkaran atau perdebatan antara pria dan wanita entah itu mereka memiliki hubungan teman,sahabat,pacar,saudara atau apapun saya sering mendengar kata-kata "kamu gak punya perasaan" ini. lazimnya kata-kata ini ditujukan kepada sang pria nya. karena sang wanita merasa bahwa si pria tidak mampu memahami perasaan sang wanita tadi. tanpa bermaksud menyudutkan para wanita, disini saya merasa bahwa para wanita sering sekali berlindung di balik kata-kata sakti tersebut untuk kemudian menyudutkan para pria dibalik ketidakmampuan mereka memahami perasaan tersebut. padahal menurut saya secara simpel, kalo sang wanita menyerang pria dengan kata "kamu gak punya perasaan" sudah seharusnya mereka menahan amarah tersebut dan menggantinya dengan pemakluman. karena orang yang tidak punya perasaan sudah pasti tidak bisa memahami perasaan wanita donk? kalo udah tau bakalan gak bisa memahami tapi kok masih maksa diminta memahami? itu artinya kan cuma mau cari ribut saja. yang ingin saya terangkan disini bukan bermaksud untuk menyudutkan kaum wanita namun hanya ingin memberikan sudut pandang lain kepada pria dan wanita untuk lain kali bisa menahan amarahnya untuk sesuatu yang menurut saya tidak perlu. 
        Seperti perdebatan tadi contohnya. yang menurut saya dapat saja dihindari ketika baik pria maupun wanitanya bisa sama-sama lebih memahami situasi dan kondisi masing-masing. karena seperti judul yang saya ungkapkan di awal, setiap manusia itu memiliki perasaannya, hanya saja tidak semua manusia itu dominan menggunakan perasaannya dalam melihat sebuah permasalahan. seperti seorang pria contohnya, lebih condong menggunakan logika ketika melihat sebuah permasalahan. Menurut wikipedia, logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. artinya adalah pria lebih cenderung melihat sebuah permasalahan dengan akal pikiran mereka,bukan dengan perasaan mereka sehingga secara alami memang hanya sedikit dari mereka yang kemudian mampu memahami perasaan seorang wanita secara utuh. Begitu juga sebaliknya dengan para pria yang tidak boleh memaksakan apa yang ada dalam pikirannya pada wanita ketika sedang di tengah perdebatan karena bagaimanapun logika berpikir yang para wanita gunakan lebih cenderung menggunakan intuisi perasaannya. dari dua sisi yang saya terangkan tadi, sudah jelas bahwa ada beda antara wanita yang cenderung menggunakan perasaan dan pria yang cenderung menggunakan logika namun perbedaan sudut pandang yang ada ini sebenarnya tidak perlu menjadi sebuah permasalahan yang terlampau jauh. Dengan pemahaman yang baik diantara kedua pihak, kedua hal yang berbeda tadi sesungguhnya akan menjadi sesuatu yang akan saling melengkapi karena bagaimanapun keadaannya, wanita dan pria memang sesungguhnya diciptakan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan antara satu dengan yang lainnya. :)

Mengapa Harus Bertemu Kalau Tak Bisa Memiliki?



Vemale.com - Oleh: Agatha Yunita
Masih di siang yang sama, dan aku harus menunggu bis yang akan membawaku pulang ke rumah agar tak terlalu larut sesampainya nanti. Kulihat bis yang biasa membawaku, berjalan perlahan seperti muatannya telah keberatan. "Ahhh... harus berdiri lagi deh," batinku. Aku menjejakkan kaki ke dalam bis dan memang seperti sudah tak ada tempat duduk manis di sana.
Aku memaksakan diri masuk ke arah tengah, berharap masih ada bangku kosong yang menyisip di sana. Hasilnya nihil. Tetapi aku masih bisa lebih tenang karena perjalananku dua kali lebih jauh dari biasanya hari ini.
"Duduk di sini aja non, aku udah deket kok," sapa seorang pria yang tengah duduk satu baris dari bangku tempatku berdiri. Karena kaki sudah pegal, dengan tanpa sungkan akupun beranjak duduk di bangkunya. Menikmati kursi tersebut aku tak sadar bahwa penumpang sudah semakin sepi dan pria yang tadi memberikanku kursinya masih berdiri di sana. Aku mulai memperhatikannya. Baik juga dia memberiku kursi ini sekalipun dia juga masih harus menempuh jarak jauh.
Beberapa menit kemudian, bangku di sebelahku kosong. Aku bergeser. Dan ia duduk di sebelahku.
"Aryo," ia menyodorkan tangan dengan ramah. "Elin." Aku balik menyodorkan tangan, dan di situlah awal perkenalanku dengan Aryo.
***
Sudah 4 bulan ini hatiku diliputi bunga-bunga. Aku semakin bersemangat, tak peduli jalanan macet, pekerjaan berat, atau masalah di kantor, semua terasa baik-baik saja sejak kehadiran Aryo.
Belakangan ini ia selalu menjemputku, kami akan pergi sekedar makan dan ngobrol terlebih dahulu sebelum menjalani rute bis kami.
Sekalipun tubuh kelelahan, setidaknya aku senang dan cukup puas bisa selalu berlama-lama dengannya. Rasanya seisi hariku dipenuhi dengan namanya, dengan keceriaan, kelembutan, keromantisan serta pengetahuannya yang luas itu. Ia hampir selalu membuatku terkesima karena ia tahu banyak hal.
Singkat kata, ia merebut hatiku.
Dalam hanya 4 bulan saja, hatiku terkait terlalu erat. Aku enggan melepaskan, dan tak ingin melepaskannya. Aku berharap hubungan kami ini segera berlanjut ke arah yang lebih serius.
"Ar, ibuku bertanya-tanya tentang kamu lho. Dia ingin bertemu kamu, karena tak puas mendengarkan cerita dariku,"
"Hmm... ok. Nanti kita atur ketemuan dengan ibumu ya, sayang." Aryo terlihat tenang dan seperti yakin jalan yang akan kami tempuh ke depannya. Itulah sebabnya aku tak pernah khawatir dan curiga apa-apa terhadapnya.
Dan mungkin harapanku terlalu tinggi. Aku terlalu naif saat berhadapan dengan cinta. Hingga aku harus bertemu luka.
***
Sudah seminggu ini Aryo bilang sedang sibuk. Aku jadi lebih sering pulang sendiri. Komunikasi juga agak sedikit sulit, dan hatiku mulai bertanya-tanya. Ada apa dengannya ya?
Hari itu aku tak ingin langsung pulang. Walaupun aku tahu akan tiba di rumah larut malam jika tak bergegas mencari bis. Apalagi tak ada Aryo yang menemaniku. Ah, tak apa. Toh biasanya aku juga seorang diri.
Menikmati secangkir hot chocolate dan pancake rumahan buatan sebuah cafe kecil di sudut jalan, akupun puas. Aku merasa lebih tenang dan dapat berpikir jernih. Aku akan pulang, beristirahat dan berharap Aryo akan menghubungiku keesokan harinya.
Dan sesaat setelah aku hendak menjejakkan kaki keluar, aku terdiam. Aku melihat sesosok pria yang kukenal beberapa lama ini. Aryo. Ia menggandeng tangan seorang wanita yang anggun masuk ke dalam mobil. Dengan membawa kantungan plastik belanjaan yang cukup banyak jumlahnya. Sedang apa ya dia?
Tak ingin membuatnya terkejut, aku memutuskan menahan diri dan bertanya via telepon sesampainya aku di rumah nanti.
"Ar, kamu kenapa sih susah dihubungi akhir-akhir ini?" tanyaku menahan emosi, karena aku tak ingin ia menganggapku terlalu cemburu atau mengekang.
"Aku sedang sibuk saja sih belakangan ini, maaf ya," katanya.
"Hmmm... kalau memang banyak yang harus kamu kerjakan dan kamu merasa keberatan, aku mau lho ngebantu kamu,"
"Nggak perlu Lin. Untuk urusan kali ini, kayaknya aku nggak bisa melibatkan kamu," suaranya mulai bergetar. Akupun curiga, dan merasa was-was, ada apa sih ini?
Belum sempat aku bertanya, Aryo sudah mengambil suara dulu.
"Lin, aku boleh bertemu kamu? Aku tahu ini sudah malam. Tapi aku pengen banget peluk kamu," kata-kata Aryo spontan membuatku senang. Aku sendiri tak tega dengan suaranya, ia terlihat sedang membutuhkan aku saat ini.
"Iya, aku akan ijin ibu. Dia pasti mengerti kalau memang ada yang penting."
"Tidak. Aku tidak akan lama kok, aku akan segera sampai di rumahmu 30 menit lagi. Aku janji, nggak akan lama." Teleponpun ditutup dan aku dengan cemas menunggu kedatangan Aryo pertama kali ke rumahku.
***
"Aku udah di depan." Demikian bunyi SMSnya. Segera aku berlari ke depan dengan membawa jaket lengkap dengan tas slempangku. Aku tak yakin Aryo akan masuk, sehingga aku bersiap membawa perlengkapan pergi.
"Kita nggak usah ke mana-mana Lin, di sini aja. Nggak lama kok. Nggak enak udah terlalu malem." Aku mengangguk. Dan tiba-tiba ia meraihku, memelukku dalam-dalam dan erat. Tubuhnya kurasakan bergetar, mungkin dia menangis. Aku hanya membalas pelukannya lebih erat, dan menenangkan dia.
"Kamu kenapa sih Ar?"
"Lin, aku udah salah sama kamu. Seharusnya hubungan ini nggak boleh terjalin."
"Kenapa bisa begitu?"
"Aku akan menikah bulan depan dengan tunanganku."
Kalimat itu membuatku terkejut dan spontan melepaskan tanganku dari tubuhnya. Aku terdiam sejenak, tak percaya.
"Kamu mempermainkan aku, Ar?" aku bertanya lirih tak jelas, berusaha meyakinkan diri kalau ini cuma mimpi.
"Aku nggak berniat mempermainkan kamu Lin. Aku beneran jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita bertemu. Sayangnya, pada saat itu statusku tidak lagi single. Dan, kamu boleh bilang aku egois. Tetapi, kamu harus tahu bahwa aku nggak main-main, perasaanku ini beneran sama kamu!"
Aku bingung dengan penjelasan Aryo yang terdengar hanya menguntungkan dirinya saja.
"Mungkin memang kita bertemu di waktu yang nggak tepat, itu saja," sambungnya.
"Ok. Tak usah berbicara lagi. Aku cukup tahu ini, dan aku sudah bisa menebak selanjutnya apa," aku tertunduk kecewa dan mengambil ancang-ancang masuk ke dalam rumah. Aryo meraih tanganku, berusaha menarikku kembali ke pelukannya.
"Maaf Lin... maaf... tapi percayalah, perasaanku nggak akan berubah. Aku akan tetap sayang kamu," matanya berkaca-kaca. Yang hanya kupandang tanpa balasan sepatah katapun.
Aku beranjak masuk. Menahan semua air mata yang nyaris tak terbendung di depannya tadi.
Akhirnya, kutumpahkan semua isak tangisku di atas tempat tidurku. Memungut semua harapanku yang telah kugantung tinggi-tinggi, dan kumasukkan lagi ke dalam hati.
Tuhan... mengapa sih KAU harus mempertemukan kami kalau pada akhirnya kami tak bisa saling memiliki?

Nikahi Aku Ketika Tiba Waktunya Kita Menjadi Satu



 Sebut saja namanya adam. Aku sudah berteman dengannya cukup lama, bahkan jauh sebelum aku memutuskan hubunganku dengan kekasihku terdahulu. Bahkan,
sebelum aku akhirnya memutuskan untuk memakai hijab. Dia adalah sahabat yang baik. Seorang pria dengan banyak kemampuan. Bermain musik, bernyanyi, memainkan gitar, bass dan drum. Dia memang sudah mempunyai sebuah band namun belum berminat untuk bernaung ke sebuah label. Aku dan dia mempunyai banyak sekali persamaan, mulai dari kesukaan kami terhadap musik, penyuka warna biru hingga asal kami yang dari keluarga broken home. Kami juga suka bercanda dan sayangnya sama-sama keras kepala.
Hanya hal ini yang membedakan kami,aku berasal dari Indonesia sedangkan ia adalah seorang Amerika asli. Kami juga mempunyai kepercayaan yang berbeda. Aku muslim sedangkan ia adalah keturunan Yahudi dan Protestan. Tapi beruntungnya, kami sangat menjunjung tinggi toleransi. Bahkan, ia ingin tahu lebih banyak mengenai islam dan juga sangat mengagumi kebudayaan Indonesia.
Ketika aku patah hati karena pengkhianatan mantan kekasihku, ia adalah orang pertama yang menghiburku. Ia juga sangat marah ketika mengetahui bahwa aku telah dikhianati. Saat itu ia mengatakan, " Biarkan saja ia mengkhianatimu. Sejujurnya, ialah yang merugi karena mengkhianatimu. Kamu adalah wanita yang menyenangkan." Aku pun tersipu malu sehingga tidak mampu mengucap kata, selain terima kasih.
Ia juga sempat terkejut melihat perubahan penampilanku yang mengenakan hijab. ia bahkan sempat menyanjungku dan mengatakan bahwa aku lebih cantik ketika menggunakan hijab. lagi-lagi, aku dibuat terdiam dan tersipu.
Hingga tiba waktu ketika ia menyatakan perasaannya padaku. ia sempat terkejut karena aku tidak ingin lagi  mencari kekasih. "Sekarang, aku ingin mencari suami, bukan lagi kekasih." Ia marah besar mendengar penjelasanku. Aku lupa bahwa ia memang phobia dengan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan atau komitmen sejenisnya. Ini karena perceraian kedua orang tuanya. Namun, aku yang berpegang teguh pada keyakinanku terhadap pernikahan yang sudah jelas tertulis di kitab suciku membuat kami kehilangan kontak selama beberapa waktu. Sayangnya, aku tak berani untuk mengatakan apapun.
Suatu hari, ia meneleponku. "Kupikir, kau tidak ingin berbicara denganku lagi.", kataku. "Aku merindukan suaramu.", jawabnya. Aku pun begitu. Karena menyimpan rasa bersalah, aku meminta maaf padanya. Ia pun melontarkan jawaban yang justru membuatku bingung. 'Suatu saat aku juga akan mengalami pernikahan. Aku ingin menikahimu, tapi tidak tahun ini. Nanti setelah aku memperjuangkan karir musikku." Tak kuasa ku membendung tangis. Aku hanya berkata,"berjanjilah padaku, nikahi aku ketika kamu dan aku sudah sama-sama siap."
Ia kemudian menceritakan aku kepada kedua orang tuanya. Dan untunglah, mereka merestui hubungan kami. Memang, awalnya adik-adik Adam tidak menyukaiku karena aku adalah seorang muslim. Ini sempat membuat Adam marah besar. Tidak berhenti disitu, mantan-mantan kekasih Adam juga berbondong-bondong menyerangku. Syukurlah, Adam denganpenuh kasih sayang membelaku. Ia bahkan mengatakan bahwa aku adalah calon istrinya, padahal ia bahkan belum melamarku.
Suatu kesempatan, aku menceritakan segala tentang aku dan kisah hidupku. Aku hanya takut bahwa suatu hari ia menyesal telah menikahiku. Aku tidak ingin ini terjadi. Aku ingin ia mencintaiku apa adanya. Dengan penuh kasih ia mengatakan ," tak peduli bagaimanapun keluargamu. Aku juga tidak peduli dengan masa lalumu. Apa yang penting sekarang adalah kamu bukan orang yang sama dengan yang dahulu."
Tangis haru aku mendengarnya. Sangat beruntung aku memiliki calon suami seperti dia. Ia mungkin urakan, tapi hatinya rupawan. Ia pun kini mempunyai penghasilan yang tetap. Kini, tiba waktunya aku memperkenalkan Adam ke kedua orang tuaku. Aku yakin, mereka juga akan memberikan restu kepada kami.