kejadian yang tak disangka-sangka

Aku Tierra, Aku duduk dibangku kelas IX SMP. Aku termasuk anak yang lumayan rajin, karena itu aku masuk di kelas A. kelas A, adalah kelas yang diinginkan oleh semua Murid. Awalnya aku masuk kelas B, tapi nggak tahu kenapa, waktu semester 2 aku naik ke kelas A, aku kaget, dan aku senang banget. Aku mengikuti ekstrakulikurel Pramuka. Karena aku suka banget dengan Paramuka, karena didalam Pramuka aku menjadi disiplin dan mandiri.

Biasa jam 05.00 pagi aku bangun, aku mandi. Setelah mandi, aku sholat shubuh, aku membereskan buku pelajaran yang akan di bawa sekolah. Sebelum berangkat aku sarapan dulu.
Dari luar sudah terdengar suara Briyan yang memanggil-manggilku. Lalu aku bergegas pamitan kepada ibuku dan berangkat. Aku berangkat di jemput oleh Briyan dan pulangnya pun di antar oleh Briyan. Briyan sangat baik padaku. Kami berdua satu sekolah dan satu kelas. Kami pun duduk bareng. Kami sudah lama bersahabat. Kami bersahabat sudah hampir tiga tahun. Dia suka curhat kepadaku dan begitu pun aku suka curhat kepada dia.
Hari Sabtu pelajarannya olahraga. Lalu Briyan mengajakku basket.
“Tieer, basket yuk?” ajaknya.
“Enggak ah!” jawabku.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Aku nggak bisa basket,” jawabku lagi.
“Tenang, aku ajarin,” ajaknya.
“Bener nih, awas kalau kamu bohong,” jawabku kembali.
Kami berdua main basket, aku tidak bisa basket oleh Briyan di ajarin basket. Tiba-tiba Bel tanda istirahan pun berbunyi. Aku dan Briyan pergi ke kantin untuk membeli makanan dan minuman. Selesai makan kami langsung perg ke kelas, karena teman-teman sudah menunggu. Sampai di kelas, aku langsung pergi ke WC untuk mangganti baju, karena masih ada pelajaran berikutnya.

Bel tanda berakhirnya pelajaran telah berbunyi. Bryan langsung menghapiriku, dan mengajakku pulang. Di jalan kami bercanda-canda,. Tiba-tiba Briyan berhenti dan memandangku. Namun pandangannya kali ini berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya.
“Kenapa Yan, kok berhenti sih?” tanyaku heran.
“Enggak, aku cuma pingin lihat wajah kamu yang sangat manis,” jawabnya sambil senyum.
“Kamu ada-ada saja, aku kan jelek,” jawabku lagi.
“Beneran, aku tidak bohong,” jawabnya lagi.
“Sudahlah ayo jalan lagi. Ibuku sudah menunggu di rumah,” ajakku padanya.

Briyan pun menjalankan motornya kembali. Sesampainya di rumah, seperti biuasa Briyan mampir dulu ke rumahku. Kami berdua masuk ke dalam rumah, kami ngobrol-ngobrol. Tiba-tiba, ibu muncul dari dapur sambil membawa teh manis dan pisang cokelat.
“Nak Briyan, ini ibu buatkan teh manis, dan ini kebetulan ibu sedang goreng pisang cokelat kesukaan Tierra. Silahkan dicicipi,” kata ibu.
“Makasih banyak Bu, jadi merepotkan,” ujar Briyan.
“Enggak apa-apa,” jawab ibu.
Kami ngobrol-ngobrol sudah lumayan lama, kami ngobrol sudah hampir dua jam. Briyan pun berpamitan untuk pulang.
Malam Minggu, adalah malam yang di tunggu-tunggu oleh setiap orang yang mempunyai pacar. Karena di malam Minggu, mereka gunakan untuk bermain/jalan-jalan bersama pacar mereka. Tapi bagiku, malam Minggu adalah malam yang biasa saja, seperti malam-malam yang lainnya. Di malam Minggu, aku biasa menghabiskan waktu bersama ibuku. Karena ayahku sedang bekerja di lua kota. Jadi kami hanya tinggal berdua.

Tiba-tiba, handphoneku berbunyi, aku langsung lari menuju kamarku untuk mengambil handphone dan ketika aku angkat ternyata Briyan yang nelpon. Aku kaget, karena malam-malam Briyan nelpon. Biasanya dia nelpon pagi-pagi untuk menanyakan pelajaran.
“Hello, Assalamu’alaikum,” sapaku.
“Wa’alaikumssalam,” jawabnya.
“Tumben malam-malam kamu nelpon, ada apa?” tanyaku heran.
“Besok aku akan ke rumahmu, dan besok aku akan ajak kamu ke tempat biasa ketika aku sedang sedih,” jawabnya lagi.
“Ya, besok aku tunggu di rumah,” jawabku.
“Sudah dulu yah, Assamu’laikum.”
“Wa’alaikumssalam.”

Selesai menelpon, aku langsung menghampiri ibuku yang sedang nonton TV di ruang tengah. Ibu sangat baik padaku, ibu sudah merawatku sejal kecil. Olehkarena itu aku sangat sayang pada ibu. Dan pada saat ayahku mau berangkat ke luar kota ayah mengajak ibu, namun ibu tidak mau. Ibu lebih memilih tinggal di desa daripada tinggal di kota. Ketika ayahku pergi aku baru berusia 7 tahun., dan pada waktu itu aku baru kelas 1 SD. Sampai sekarang aku kelas IX SMP ayahku belum pulang mungkin di sana ayah sibuk dengan pekerjaannya. Tetapi dalam kesibukannya, ayah masih menyempatkan waktu untuk menelpon kepada kami. Kata ayah, besok malam tahun baru ayah akan pulang, dan katanya ayah tidak akan berangkat ke luar kota lagi. Karena ayah sangat sayang padaku.
Besok paginya, seperti biasa aku bangun jam 04.30 pagi, aku cuci muka dan mengambil wudhu terus sholat shubuh. Selesai sholat aku membantu ibu cuci piring, ngepel, dan nyuci bajuku dan baju ibu. Habis nyuci baju barulah aku mandi dan sarapan. Setelah sarapan aku menyempatkan waktu 20 menit untuk membaca buku.

Sambil menunggu Briyan, aku membantu ibu. Kebetulan ibu sedang membuat kue donat karena ada pesanan. Dari luar sudah terdengar suara motor Briyan. Briyan pun mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum,” salamnya.
“Wa’alaikumssalam, eh kamu Yan, silahkan masuk,” jawbku.
“Ya, kamu sedang apa Ti?” tanyanya.
“Aku sedang bantu ibu membuat kue donat,” jawabku.
“O,” jawabnya.

Ketika Briyan sudah di rumahku aku pun langsung ganti baju. Kami berangkat menggunakan motor. Sesampainya di tempat itu aku disuruh menutup mataku. Ya terpaksa aku harus menutup mataku. Setelah beberapa menit lalu Briyan menyuruhku untuk membuka mataku.
“Coba sekarang buka matamu,” ujarnya.
“Ya,”

Ketika aku buka mataku ternyata aku berada di sebuah taman yang sangat indah, dan Briyan duduk di sampingku sambil memegang sekuntung mawar merah. bunga tersebut lalu di berikan kepadaku dan dia berkata.
“Ti, aku boleh ngomong sesuatu nggak?” katanya.
“Boleh! Emang ada apa?” tanyaku.
“I LOVE YOU! Maukah kamu menjadi pacarku?” tanyanya lagi.
“Emm, maaf yah, aku nggak bisa nolak kamu,” jawabku.
“Berarti kamu mau menjadi pacarku?” tanyanya penasaran.
“Ya,” jawabku lagi.

THE END

TRUE LOVE



Cinta sejati. Apakah kalian percaya akan itu? Akan "Cinta Sejati" yang konon katanya dimiliki oleh semua orang? Cinta yang katanya sangat indah dan menyenangkan? Mitos cinta sejati yang terus menerus melolong dihatiku.

Kupandangi bingkai biru di tepi tempat tidurku. Aku tersenyum menatap benda yang ada didalam bingkai itu.

Bukan sebuah foto ataupun lukisan. Hanya sebuah kertas lusuh. Kertas catatan PKN yang aku robek dari buku miliknya 2 tahun lalu saat perpisahan SMP. Dia sama sekali tidak tahu aku merobek buku catatanya. Bahkan, mungkin dia tidak mengenalku. Aku hanya satu dari ratusan penggemarnya di sekolah.


MATA DAN HATI

Aku paling benci bila orang lain menatap mataku lama-lama. Padahal tidak ada kesalahan dengan mataku ini. Mataku sama seperti mata yang dimiliki insan lain yang berfungsi sebagai indra penglihatan. Aku hanya takut mereka bisa membaca apa yang ada di dalam diriku. Aku mempunyai aturan bahwa tidak sembarang orang bisa melihat mataku. Karena menurutku, mata adalah jendela diri kita. Seseorang akan melihat kita seperti apa melalui mata yang selalu memancarkan kejujuran. Sama seperti jendela dalam sebuah ruangan, kita akan mengetahui baik buruknya suatu ruangan hanya dengan mengintip melalui celah jendela. Namun, kita dapat benar-benar mengetahuinya bila kita memasuki ruangan tersebut melalui pintu. Dan, pintu itu sama seperti hati.
Hari ini adalah hari pertama bagiku untuk mulai beradaptasi dengan lingkungan baru lagi. Setelah hibernasi berbulan-bulan dari bersosialisasi dengan orang lain, rasanya aku hampir lupa bagaimana cara untuk menyapa. Dari sekian banyak teman baru, hanya tiga orang yang sanggup berbicara lama-lama denganku. Namanya Desta. Desta punya banyak kesamaan denganku, terutama tentang mata. Kami sepakat bahwa tidak sembarang orang bisa menatap mata kami dengan seksama. Alasannya, karena mata kami berbahaya. Konyol, kata temanku yang satu lagi. Namanya Ratih. Pernyataan Ratih segera ditolak mentah-mentah oleh Rasta, sahabat Desta sejak mereka masih menjadi gumpalan darah di rahim ibunda mereka masing-masing. Rasta juga menyetujui pernyataanku dan Desta. Walau Ratih terkadang menentang pernyataan kami, tapi ada satu yang selalu ia setujui; bahwa kami akan selalu bersama untuk saling melengkapi satu sama lain.
“Lana, ada yang ingin berkenalan denganmu,” bisik Ratih di telinga Lana. Meskipun Ratih berusaha untuk mengecilkan volume suaranya, tetap saja telingaku yang sangat peka ini mendengarnya. Aku sedikit kaget saat mendengar Ratih berbicara. Bagaimana bisa ada orang lain yang ingin berkenalan dengan Lana. Kami saja yang sudah berteman selama dua tahun lebih, tidak bisa mengetahui seluk beluk kehidupan Lana. Mungkin yang paling mengetahui segala urusan Lana adalah Desta. Karena mereka mempunyai satu kesamaan tentang larangan menatap mata orang lain. Hingga detik ini, aku tidak tahu bola mata yang dimiliki mereka berdua itu apa.
“Siapa? Perempuan? Aku bukan l*sbi,” jawab Lana dengan santainya sambil membaca buku. Banyak yang menyangka sikap Lana yang dingin dengan siapapun dikarenakan Lana memiliki kelainan s*ksual. Padahal menurutku Lana masih menjadi betina sejati, yang masih membutuhkan seorang jantan untuk melengkapi hidupnya. Yang bisa kupastikan, ia tidak tertarik kepadaku atau Desta. Karena aku pernah bergurau kepadanya bahwa aku siap untuk mendampingi hidupnya, asal aku diperbolehkan menatap matanya lekat-lekat. Reaksinya? Ia menonjok lenganku hingga sedikit memar. Kalau itu pertanda ia tertarik kepadaku, rasanya sebulan menjalin hubungan dengannya aku bisa mati di tangannya.
“Seekor jantan dari keluargaku,” jawab Ratih dengan lantangnya. Yang membuat semua mata manusia menatap ke arahnya. Dari perkataannya, aku tahu siapa yang ia maksud. Bang Rey, kakak lelaki Ratih yang sedang bekerja di Australia. Kulihat respon yang diberikan Lana adalah negatif. Ia menggeleng kencang-kencang hingga rambut sebahunya yang ia ikat lepas dari ikatannya.
“Kita kan sudah berjanji tidak akan terkena virus merah jambu itu. Merusak hati saja. Lagipula, aku tidak suka dengan kakakmu itu. Dia kan sedang bekerja di negeri lain. Rusuk tidak mau jauh-jauh dari tubuh lelakinya,” kata-kata yang keluar dari Lana langsung membungkam mulut Ratih. Untuk mencairkan suasana, aku mengobrol dengan mereka berdua. Saat aku sedang asyik bercanda dengan Ratih, mataku menangkap sebuah tatapan. Seseorang yang tak pernah mau menatap mata orang lain, sedang menatapku!

Saat pertama dia memperkenalkan diri, aku langsung teringat dengan genre musik yang sangat kugandrungi. Rasta. Namun itu bukan berarti aku menyukainya. Di antara semua makhluk yang ada di kampusku, ada satu yang paling unik. Seorang pria bernama Desta. Wajahnya cukup tampan dengan rahang keras yang mempertegas wajahnya dan sepasang mata yang penuh misterius. Tidak ada yang tahu warna bola matanya itu apa. Aku pernah mendengar dia berkata kepada Lana, bahwa siapapun yang mengetahui warna bola matanya, tentu ia akan mudah masuk ke dalam hatinya. Lana dan Desta ini terkenal sebagai pasangan unik. Padahal mereka tidak berpacaran. Dan aku merasa cemburu atas gelar yang menempel pada mereka. Perlu kuakui, aku memang menyukai salah satu di antara Desta dan Rasta. Seseorang yang sama sekali belum bisa kusentuh, seseorang yang bagaikan angin dalam kehidupanku; ada, namun tak bisa kuraih. Ia dekat tapi begitu jauh.
“Kalungmu bagus, Tih,” ucap Lana saat melihat kalung yang baru kubeli, “kenapa inisialnya D?” pertanyaan yang diucapkan Lana membuatku gugup.
“Y-ya aku suka huruf D, Na. D kan berarti Dragon Ball.” Ucapanku sangat ngawur dan membuat Lana curiga.
“Desta ya?” tanya Lana kepadaku. Jantungku terasa merosot ke lututku. Aku hanya tertawa mendengar tebakan jitu Lana.
“Bukan kok. Desta kan sahabat kita, Na.” Aku yakin, jawabanku sama sekali tidak memuaskan Lana. Tapi kulihat ia mengangguk. Biasanya ia akan mendebatkan segala sesuatu hingga tuntas. Kuharap Lana tak kan tahu bahwa D selamanya merujuk kepada Desta.

“Des, kemarin mataku menangkap sesuatu yang aneh,” kata Lana kepadaku. Aku tertawa mendengar ucapannya. Dan dia menepuk punggungku dengan keras.
“Hih! Kok ketawa? Aku serius loh. Kemarin aku lihat Ratih senyam senyum melulu. Tidak biasanya kan perempuan itu bertingkah seperti orang gila. Aku dengar dari teman sekelasnya bahwa dia sedang terkena virus merah jambu. Ah, sepertinya dia memang gila.”
Lana berpendapat bahwa virus merah jambu membuat kami gila dan kami harus segera divaksin agar tidak terkena virus tersebut. Padahal, itu adalah suatu hal yang sangat manusiawi. Tapi pendapat Lana harus selalu kami iyakan agar ia merasa puas.
“Memangnya ada yang salah dengan virus itu? Tanpa virus itu, mama papa kamu tidak akan memiliki kamu loh, Na. Sepertinya ada yang harus diubah dari cara pemikiranmu.”
“Kamu itu siapa sampai mau mengatur aku? Orang tuaku saja tidak ada yang merasa keberatan dengan pemikiranku yang seperti ini!” bentaknya kepadaku. Tidak biasanya Lana sebuas ini.
“Oke oke. Sepertinya ada yang ingin kamu bahas, ya? Mari kita berdiskusi, Nona.” Dalam hati aku berharap agar kebuasannya bisa sedikit aku jinakkan. Kulihat dia menarik napas dalam-dalam; pertanda ia akan menyampaikan khotbah.
“Begini,” ucapnya sambil menunduk, “aku tidak akan menyampaikan hal ini kalau ini tidak penting untuk kita semua. Menurutku, jatuh ke dalam kubangan merah muda itu memang hal yang wajar. Tapi akan menjadi tidak wajar bila kita jatuh ke dalam kubangan yang salah. Dan aku rasa, Ratih telah memilih kubangan yang salah,” Lana segera menggigit bibirnya, seolah ada sesuatu yang salah.
“Ada apa?” tanyaku kepadanya. “Aku tahu kamu tahu sesuatu yang terjadi. Ada apa? Untuk sementara, hilangkan dulu segala prolog yang ingin kamu sampaikan. Kita bisa segera masuk ke dalam bab inti,” kataku sambil memegang tangannya. Dari tangannya, aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang benar-benar Lana risaukan. Dan yang kudapat hanya gelengan kepalanya.
“Mungkin aku terlalu berlebihan, Des. Lupakan saja ya,” dia menampilkan senyuman yang paling kubenci, senyuman yang terpaksa.
Tiba-tiba saja, aku mengerti apa maksud semua perkataan Lana tadi. Dan itu membuatku memegang tangannya erat-erat. Dari ujung organ yang paling terlarang untuk kami lihat, ada sebutir air yang ditahan untuk tidak meluncur di pipinya. Lana pun menangis. Baru kali ini rasanya aku bisa melihat sisi kewanitaannya. Tergesa, aku memeluk Lana. Biar segala resah dan gundah hilang sudah.
“Aku tahu apa yang kau resahkan, Nona. Jangan resah. Pintu hatiku hanya dapat diketuk satu kali,” aku dapat merasakan Lana mempererat pelukannya. Dan itu berarti suatu jawaban pasti untukku.

Aku lupa detik yang ke berapa Rasta menatap mataku. Ia seperti tercengang bisa melakukan sesuatu yang amat aku larang. Tapi aku tak merasa apa-apa. Tak ada gejolak apapun. Berbeda saat aku menatap mata Desta. Ada sesuatu yang aku rasakan. Sesuatu yang sempat kutentang keberadaannya, sesuatu yang sempat kubuang jauh-jauh, sesuatu yang bernama rasa. Bahkan, saat ia memelukku karena perasaan kalutku saat tahu Ratih sedang kasmaran, aku benar-benar lupa akan segala peraturan yang pernah kubuat. Aku tak kan bersikap seaneh ini bila Ratih tidak membiarkan hatinya terus menurus mengucapkan nama Desta. Kalau aku tidak salah, saat Desta memelukku, detak jantungnya menjadi liar. Aku rasa aku tahu apa yang sedang terjadi.

Kemarin, mataku menangkap sesuatu yang tak sepantasnya aku lihat. Mataku melihat Desta sedang memeluk Lana erat-erat. Ini salah. Ini tidak benar. Tak jauh dari tempatku berdiri, Ratih sedang menatap dengan diam ke arah mereka. Aku tahu bahwa Ratih sangat menggilai Desta dan aku diam-diam menjadi pengagum keunikan Lana. Dan di hadapan kami, terpampang dengan jelas bahwa mereka sudah memilih jalannya masing-masing. Aku menghampiri Ratih dan segera membawanya pergi dari situ. Aku dan Ratih sama-sama terjebak di ruangan yang belum pernah kami intip.

Hari ini tepat satu tahun aku menikah dengan seorang perempuan hebat yang pernah aku kenal. Hari ini juga, kami resmi memiliki hunian tetap yang cukup megah dan mampu diisi oleh enam orang anak. Sedari tadi, kami iseng membuka surat, foto dan kado saat kami masih berstatus sebagai sahabat. Ada satu kertas kumal yang sangat menyita perhatianku. Aku tahu persis yang menulis di kertas tersebut adalah Lana.
Ada sepasang mata yang ingin aku cungkil dan kusimpan untukku seorang. Dan itu matamu, Rajasa Desta.
Tiba-tiba ada sejuta haru masuk ke dalam hati. Entah mengapa aku merasa ruangan ini penuh dengan asap sehingga membuat mataku pedih. Kupejamkan mataku agar aku tidak terjebak di masa lalu. Saat membuka mata, kertas itu hilang. Ternyata kertas itu sedang dibaca oleh wanita yang perutnya membuncit sejak lima bulan lalu. Aku menghampirinya.
“Kok direbut? Kertas itu sedang aku baca,” kataku sambil mengelus perutnya.
“Buang saja, tidak penting,” jawabnya dengan dingin. Aku merasa kaget dengan reaksinya yang terkesan tidak menyukai apa yang tertera dalam kertas itu. Ia menarik nafas, “kalau aku nekat mencukil matamu, kamu tidak akan bisa melihat wajah anakmu akan seperti apa.” Kemudian ia tertawa. Dari matanya, aku melihat binar kebahagiaan yang selama ini ia tutupi karena ketakutan akan orang baru. Dari matanya, aku sedikit mengintip tentang dirinya. Sedikit saja, tak perlu banyak-banyak. Toh aku sudah bisa memasuki hatinya. Yang kutahu, ruangan yang ada di dalam dirinya akan penuh dengan segala kebahagiaan bersamaku.

KUTEBUS CINTAMU DENGAN DOA

pokoknya hari ini aku harus bisa mengungkapkan semua perasaanku pada dia. Entah mengapa aku masih belum percaya diri untuk mengungkapkannya secara langsung. Bahkan sekarang pun aku belum siap! Namun tekadku sudah bulat bahwa aku akan mengungkapkan isi hati dan semua perasaanku pada dia. Mungkin ini kedengarannya gila. Sudah lebih dari dua tahun aku mengenali dan bersahabat baik dengan dia. Kali ini, aku ingin mengubah statusku sebagai sahabatnya menjadi pacar untuknya. Ah, alangkah senangnya hatiku.

Hari masih dapat dikatakan pagi. Namun mentari yang bersinar cukup terang menghiasi pemandangan yang ganjil di taman kota ini. Tak biasanya, hari ini taman kota sangat sepi. Nyaris hanya aku yang mengunjungi tempat ini bila tidak ada sepasang kekasih, sepertinya, yang sedang bercinta. Ah! Indahnya dunia ini jika bisa merasakan hal seperti itu. Dunia serasa milik peribadi. Namun nampaknya sepasang kekasih yang sedang bercinta yang duduk tepat di bawah pohon beringin dekat dengan kursi santai yang aku duduki itu sama sekali tidak terganggu oleh diriku. Bahkan aku tidak dihiraukannya. Aku dianggap tiada oleh pasangan kekasih yang sedang bercinta itu.
Maka, untuk mengusir rasa grogi karena sejak pukul delapan pagi tadi aku tengah menunggu sang pujaan hati, aku tatap kembali setangkai bunga mawar yang masih segar itu. Alangkah harumnya. Serasa mencium parfum yang sering digunakannya. Aku sendiri hanya bisa termenung, duduk dan memperhatikan bunga mawar ini. Pakaian yang aku pakai pun sekarang nampaknya pakaian yang istimewa. Aku kelihatan sangat berbeda memakai kemeja putih panjang dengan celana levis sewarna. Ah, baru pertama kali aku memakai pakaian aneh ini. Haha, aku ingin tertawa mengingatnya. Karena sama sekali aku tidak menyadari baahwa aku telah diselimuti oleh pakaian yang membuat wajahku bersri dan mata bercahaya. Indahnya jika dia melihatku.


Rambut aku telah mengering, telah dua jam lebih aku menunggu dan minyak pengeras rambut yang aku pakai nampaknya sudah sejak tadi mulai bereaksi. Cincin perak, hadiah dari mama. Bukan cincin yang umum dipakai oleh kaum wanita! Namun lebih kepada cincin berwarna perak yang mengkilat jika terkena pancaran mentari. Cincin hadiah dari mama! Entah mama memberikan cincin ini dengan maksud apa.
“Laura. Sudah dua jam lebih aku menunggumu. Mengapa kau tak kunjung datang juga? Aku takut jika bunga yang hendak aku hadiahkan padamu sebagai bukti rasa cintaku padamu akan layu jika aku terlalu kelamaan mennggumu. Laura. Andaikan kau tahu semua isi hatiku dan bersedia menerima cintaku. Ah, mungkin aku menjadi orang yang paling beruntung sedunia.” Aku seolah berbicara pada mawar itu. Rasanya mawar itu lebih mencairkan suasana, lebih melancarkan percakapanku yang selama ini hanya bisa membeku di ujung tanduk pembicaraan jika berhadapan dengan Laura.

Laura, perempuan yang masih mempunyai keturunan Jepang itu begitu memikat hatiku. Ia memang tidak secantik perempuan Jepang lainnya. Rambutnya malah hitam. Sama sepertiku! Kulitnya memang kuning langsat, sangat cocok disandingkan dengan orang Jepang. Namun tubuhnya sangat ideal. Seperti biola. Matanya bolehlah sipit. Tapi hidung yang bergantung di wajahnya bisa dikategorikan mancung. Ah, benar-benar perempuan yang sempurna. Batinku!

Laura bersahabat denganku baru dua tahun lebih. Kami bernasib sama waktu itu. Kami yang sama-sama bercita-cita ingin melanjutkan SMA ke luar kota, malah terdampar di sebuah SMA terpencil di kota Bogor. Benar-benar sial. Kini aku terpaksa mengikuti aturan mainnya sekolah ini dengan diwajibkannya memberikan kesan dan nuansa Islami. Menyebalkan! Dari dulu aku sangat benci dengan hal yang berbau agama. Namun itu bukan berarti hidupku atheis. Namun lebih karena aku tidak mau dikata so’ alim atau sebagainya. Bukannya sombong. Aku cukup mengetahui pelajaran dan syariat-syariat agama. Namun rasanya jika dicampur baurkan dengan kehidupan SMA yang penuh dengan keceriaan, tidak pas! Memang gila aku ini!

Saat masa-masa Mabis atau Mos, kebetulan aku membuat kesalahan yang sangat fatal sekali. Hingga membuat para kakak Osis selaku panitia geram. Ya Ampun! Aku ketahuan mengambil gambar kak Amel yang menjadi panita tercantik kala itu. Oh, bukan gambar kak Amelnya yang salah, tapi gambar dia yang kebetulan sedang berhumor dengan temannya hingga membentuk wajah yang menjijikan. Ah, sialnya aku ketahuan dan terpaksa harus menjalani hukuman menghormat bendera pusaka sampai waktu yang ditentukan dan mengelilingi lapangan sebanyak 50 putaran. Gila! Cara klasik masih saja dipakai!

Nah, saat itulah aku mengenal Laura yang sedang menjalani hukuman karena terlambat masuk kelas. Ternyata, tak disangka nasib dan keinginan kita yang sama menjadikan kami bersahabat. Hingga saat ini! Kami memang tidak pernah satu kelas. Laura mengambil jurusan IPA, sementara aku merasa otakku hanya mampu menaklukkan IPS. Faktor lain, alasan aku memilih IPS juga karena anak-anak IPA itu terlalu alim dan culun. Semua kegiatan ekskul diikuti. Rohis lah, Pramuka lah, Paskibra lah, PMR lah, pokoknya semuanya. Dan lagi biasanya mereka yang masuk IPA mayoritas perempuan. sekali adanya laki-laki, lelaki cupu dan dijadikan budak dan penindasan oleh anak IPS.

Olala, ternyata keseharian aku, keakraban aku, canda tawa aku dan Laura mampu membawa hatiku menuju jurang cinta yang berlabuh di lembah hati Laura. Oh, namun kini masalahnya, hari Minggu ini aku telah membuat janji dengan Laura. Aku sudah menunggunya sejak tiga jam lalu. Namun rupanya Laura masih belum tiba juga. Dalam hati aku bertekad bahwa aku tidak akan pulang sebelum Laura datang!
“Laura, aku tidak akan beranjak selangkah pun sebelum kau datang!” tekadku mantap.

Taman kota semakin sepi. Pasangan kekasih yang tadi sedang bercinta, yang tadi bermesraan di bawah pohon beringin sudah lenyap bagai ditelan bumi. Aku tak menyadarinya. Lalu lalang kendaraan bermotor masih terdengar. Hari ini Weekend. Mungkin orang-orang sedang menjalani weekend-nya dengan gembira. Sedangkan aku? Menunggu seseorang entah sampai kapan. Eh, tunggu! Apa mungkin Laura tengah liburan weekend? Apa ia tengah bersenang-senang memanfaatkan hari libur? Tapi tak sedikitpun ia member kabar kepadaku jika ia tidak bisa datang? Ah, handphone! Sekarang jaman teknologi. Mengapa aku tidak mengeluarkannya sedari tadi?
“Astaga!
Aku terperanjat dan terkejut. Bagaimana bisa? Handphoneku tidak ada! Aku lupa membawanya dari rumah saking senangnya? Ah, bagaimana bisa? Apa aku harus lari secepatnya menuju rumah hanya untuk mengambil sebuah HP? Oh, tidak-tidak!aku sudah berjanji tidak akan beranjak selangkahpun demi menunggu kedatangan Laura. Tapi Laura, oh, Laura dimana kau? Apa kau tidak mengetahui aku menunggumu disini dengan penuh harap. Seketika kegrogianku hilang oleh rasa yang tak tentu. Aku bingung sendiri mengapa Laura masih belum datang?

Seakan waktu habis oleh lamunanku, kini hari sudah semakin sore. Aku sama sekali lupa dan tidak menghiraukan shalat zhuhur yang tertinggal. Pikiranku hanya satu. Menunggu Laura. Ah, tapi mungkin menunggu Laura adalah hal yang mustahil bagi diriku karena kini Laura masih belum juga datang. Sesibuk apa sih Laura hingga ia tak sempat meluangkan waktunya untuk bertemu dengannya? Batinnya. Bunga mawar yang tadi segar, kini telah layu seiring bertambahnya usia dan kurangnya karbon dioksida yang diserapnya.
“Grubakkk!!!” suara sesuatu yang jatuh dan sangat keras mengejutkanku. Aku perhatikan ke sana-sini, hingga akhirnya aku melihat sebuah bus kuning telah terjerembab ke trotoar jalan. Aku ingin melihat dan menyaksikan apa yang terjadi di sana. Tapi nuraniku mencegahnya. Ia kembali mengingatkan bahwa aku telah berjanji untuk tidak beranjak selangkahpun demi menunggu Laura. Bukankah ia hanya menghampiri TKP itu sebentar saja? Tidak takutkah ia bahwa jika sesuatu yang buruk menimpa Laura? Ah, ego itu masih bisa terkalahkan oleh nurani yang memegang teguh janji.

Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya tempat dimana bus kuning itu terjerembab sudah dipenuhi oleh warga sekitar. Aku sedikit penasaran. Tapi nurani kebali mengingatkan. Maka terjadilah persengketaan antara nurani dan ego. Tunggu! Bukankah dari dulu pun nurani dan ego itu tidak dapat bersatu atau terus saja bersengkete? Ah, namun masalah ini serius. Aku semakin panik jikalau terjerembabnya bus itu ada hubungannya dengan Laura. Ah, semoga saja tidak. Doaku harap-harap cemas. Mungkin kelulusan Ujian Nasional masih kalah oleh kepanikkan dan kecemasan yang aku alami saat ini.

Hari semakin sore. Aku masih terduduk di kursi dekat pohon beringin yang tadi pagi dijadikan tempat bercinta. Mawar yang aku pegang sudah layu. Aku pun sudah mulai layu akan harapanku dengan kedatangan Laura. Entah kenapa perasaanku tidak enak hari ini. Namun, layu yang mulai tumbuh dalam diriku seakan dibabat habis oleh rasa bahagia dan sumringah atas kedatangan seorang perempuan yang selama ini aku tunggu-tunggu.
“Laura!” teriakku padanya. Dalam hati aku bersyukur bahwa ia tidak apa-apa.
“Alvin… hiks.” Laura semakin mendekat. Ia menangis. Ia tidak membalas teriakanku. Melainkan penyebutan namaku yang sedikit janggal yang disertai tangisan. Apa ia sedang bersedih? Mungkinkah mamanya yang mengantar dirinya itu terjadi kecelakaan? Laura semakin mendekat.
“Laura, sudah lama aku menunggumu. Tapi lihat! Aku masih fresh. Aku masih semangat, Laura. By the way. Kau kenapa?” tanyaku menyusul penjelasan supaya Laura tersenyum.
“Alvin… maafkan aku.” Tangisnya masih belum reda. Ia kemudian duduk di sebelahku dan mengusap air matanya dengan sapu tangan. Berkali-kali ia lakukan. Nampaknya terjadi suatu kejadian yang sangat menyedihkan baginya.
“Iya, tanpa kamu meminta pun. Aku sudah memaafkanmu, Laura. Memangnya kau dari pagi kemana saja? Aku menunggumu sejak pagi tadi, Laura.”
“Aku tahu kamu telah menungguku dari pukul delapan pagi tadi. Itu berdasarkan sms-mu padaku yang mengajakku untuk bertemu. Namun aku malah lebih senang di ajak belanja sama mama. Aku ceroboh. Maka itu aku merasa sangat bersalah sekali padamu, Alvin.”
“Penyesalan itu sering kali datang akhir. Namun aku cukup senang karena kau datang padaku. Memangnya, sebegitu menyesalnya kau telah mengajak tawaranku hingga kau menangis tersedu-sedu seperti ini, Laura?”
“Alvin, jika kamu sudah memaafkanku karena aku terlalu ceroboh memilih untuk belanja daripada bertemu denganmu, mungkin kesedihanku tidak seperti ini. Tapi…” kata-kata Laura terputus.
“Sudahlah, Laura”
“Alvin. Sebenarnya aku mencintaimu, Alvin. Sungguh. Makanya aku tidak mau kehilangan kamu. Aku mau kamu menjagaku selama hidupmu dan hidupku, Alvin.” Tangis Lara pecah.
“Hey, mengapa kau menangis? Malu kau telah menembak aku duluan? Sebenarnya aku mengundangmu ke sini pun aku ingin mengungkapkan bahwa aku sangat cinta padamu, Laura.” Aku mencoba menenangkan. Aku masih belum berani merangkul dan menyentuh tubuhnya yang bergetar dahsyat.
“Aku ingin kau peluk, Alvin.” Pinta Laura. Padaku? Ya, siapa lagi? Satu-satunya orang yang berada si sini dengan nama Alvin hanya diriku.
“Dengan senang hati, Laura.” Aku hendak memeluk Laura. Namun sungguh mengherankan,. Aku sama sekali tidak bisa memeluk Laura. Ya Tuhan, ada apa dengan aku ini. Aku sama sekali tidak bisa memeluk Laura. Pelukanku tiba tiba menembus badan Laura. Sepertiiii, seperti,… seperti hantu! Ya Tuhan! Apa artinya ini?
“Alvin, andai kau masih hidup dan dapat memeluk diriku. Aku tak akan menyia-nyiakan dirimu Alviiiiiin!!!” teriak Laura. Histeris. Apa? Apa yang dikatakannya? ‘andai aku masih hidup’? apa artinya itu?
“Alvin, bukan salahmu yang menunggu aku terlalu lama. Namun diriku yang terlambat datang hingga tidak dapat mencegah bus kuning keparat itu menindasmu, Alvin!” laura semakin histeris. Suaranya serak.

Apa????? Aku tertindas oleh bus kuning yang jelas-jelas aku dengar suaranya tadi? Aku sudah mati? Tidakkkk. Tidakkkkkk!” segera saja aku menuju tempat kejadian dimana bus kuning yang besar terjerembab ke trotoar jalan. Dan, dan seseorang yang berbaju kemeja biru polos dan celana levis hitam itu tidak asing lagi bagiku. Aku sama sekali tidak mempunyai saudara kembar. Itukah aku? Orang yang berada di bawah kolong bus dengan darah segar yang mengalir. Itukah aku? Orang yang menunggu kehadiran Laura? Itukah aku? Oh, aku sendiri masih bingung bagaimana kronologis kejadian sebenarnya. Maka, tanpa di undang, seseorang yang tidak aku kenal muncul begitu saja di sampingku. Wajahnya begitu menyeramkan seakan menimbulkan kebencian.
“Sudah sejak jam delapan aku ambil ruhmu dari ragamu atas izin Tuhan. Aku buat kau tidak merasakan apa yang ragamu rasakan. Aku juga membuat ragamu tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Ragamu menunggu seorang gadis bernama Laura di trotoar jalanan taman sambil sarapan pagi. Ingatkah kau sejak dari rumah ragamu belum memakan sesuap nasipun? Maka aku tempatkan kau sebagai ruhnya di tempat yang aman agar kau merasa nyaman. Sementara ragamu ditempati oleh ruh yang lain yang tidak akan merasakan sakit apapun saat sopir bus yang masih mengantuk hingga bus yang dikendalikannya oleng dan menubruk warung nasi tempat dimana raga kau sedang sarapan. Semua barang-baerang warung itu ambruk. Raga kau aku tempatkan pada kolong bus itu sehingga membuat miris hati orang yang melihatnya dan membuat orang lain menaruh rasa iba padamu. Namun kamu, kamu hanya bisa mendengar dan melihat bagaimana ragamu dicabik-cabik oleh sesuatu yang sangat mengerikan. Itulah salah satu ciri bagi orang yang mengerti akan ilmu Tuhan, sedangkan ia malu dan menampakkan diri sebagai orang yang paling bodoh terhadap ilmu Tuhan.
“Tuhan masih berbaik hati menjaga ruhmu agar tidak terkotori dan merasai pahitnya tertindas oleh bus yang sangat besar. Bus dengan penumpang yang banyak itu hanya menyisakan dua korban jiwa. Raga kau, dan sopir bus itu. Demi menjaga rahasia Tuhan agar kau tahu semua kebenaran Tuhan dengan sendirinya dan atas proses kehidupan yang sudah diatur Tuhan, maka, ruhmu kami pertemukan dengan kekasih pujaanmu agar kamu tahu perasaan yang sama juga timbul darinya.” Jelas makhluk aneh itu tanpa memberikan kesempatan aku untuk berbicara.
“Tapi bagaimana? Laura masih belum tahu perasaanku sebenarnya. Aku ingin mengungkapkannya secara langsung padanya.” Pintaku. Tiba-tiba aku meneteskan air mata karena sedih telah meninggalkan dunia ini. Kini duniaku dan dunia Laura berbeda.
“BerDoalah agar Tuhan mempertemukan dirimu kembali.”
“Bagaimana aku berDoa padanya. Sudah lama aku tidak melakukan hal itu.”
“Dalam hatimu masih tersimpan ilmu Tuhan yang tidak terkira. Maka kamu dapat menyimpulkan sendiri bagaimana supaya kamu bisa melakukan Doa kembali. Namun duniamu sekarang bukanlah dunia yang fana. Doamu sudah tidak akan diterima lagi oleh Tuhan.”
“Lalu?”
“Biarkan ragamu yang menjadi perantara atas petunjuk Tuhan agar orang-orang disekelilingmu turut menDoakanmu.”
Makhluk itu tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan mengajakku ke dalam tempat yang sungguh tidak terbayangkan dalam benak manusia jenius seperti apapun! Hanya Tuhan yang tahu.