MATA DAN HATI

Aku paling benci bila orang lain menatap mataku lama-lama. Padahal tidak ada kesalahan dengan mataku ini. Mataku sama seperti mata yang dimiliki insan lain yang berfungsi sebagai indra penglihatan. Aku hanya takut mereka bisa membaca apa yang ada di dalam diriku. Aku mempunyai aturan bahwa tidak sembarang orang bisa melihat mataku. Karena menurutku, mata adalah jendela diri kita. Seseorang akan melihat kita seperti apa melalui mata yang selalu memancarkan kejujuran. Sama seperti jendela dalam sebuah ruangan, kita akan mengetahui baik buruknya suatu ruangan hanya dengan mengintip melalui celah jendela. Namun, kita dapat benar-benar mengetahuinya bila kita memasuki ruangan tersebut melalui pintu. Dan, pintu itu sama seperti hati.
Hari ini adalah hari pertama bagiku untuk mulai beradaptasi dengan lingkungan baru lagi. Setelah hibernasi berbulan-bulan dari bersosialisasi dengan orang lain, rasanya aku hampir lupa bagaimana cara untuk menyapa. Dari sekian banyak teman baru, hanya tiga orang yang sanggup berbicara lama-lama denganku. Namanya Desta. Desta punya banyak kesamaan denganku, terutama tentang mata. Kami sepakat bahwa tidak sembarang orang bisa menatap mata kami dengan seksama. Alasannya, karena mata kami berbahaya. Konyol, kata temanku yang satu lagi. Namanya Ratih. Pernyataan Ratih segera ditolak mentah-mentah oleh Rasta, sahabat Desta sejak mereka masih menjadi gumpalan darah di rahim ibunda mereka masing-masing. Rasta juga menyetujui pernyataanku dan Desta. Walau Ratih terkadang menentang pernyataan kami, tapi ada satu yang selalu ia setujui; bahwa kami akan selalu bersama untuk saling melengkapi satu sama lain.
“Lana, ada yang ingin berkenalan denganmu,” bisik Ratih di telinga Lana. Meskipun Ratih berusaha untuk mengecilkan volume suaranya, tetap saja telingaku yang sangat peka ini mendengarnya. Aku sedikit kaget saat mendengar Ratih berbicara. Bagaimana bisa ada orang lain yang ingin berkenalan dengan Lana. Kami saja yang sudah berteman selama dua tahun lebih, tidak bisa mengetahui seluk beluk kehidupan Lana. Mungkin yang paling mengetahui segala urusan Lana adalah Desta. Karena mereka mempunyai satu kesamaan tentang larangan menatap mata orang lain. Hingga detik ini, aku tidak tahu bola mata yang dimiliki mereka berdua itu apa.
“Siapa? Perempuan? Aku bukan l*sbi,” jawab Lana dengan santainya sambil membaca buku. Banyak yang menyangka sikap Lana yang dingin dengan siapapun dikarenakan Lana memiliki kelainan s*ksual. Padahal menurutku Lana masih menjadi betina sejati, yang masih membutuhkan seorang jantan untuk melengkapi hidupnya. Yang bisa kupastikan, ia tidak tertarik kepadaku atau Desta. Karena aku pernah bergurau kepadanya bahwa aku siap untuk mendampingi hidupnya, asal aku diperbolehkan menatap matanya lekat-lekat. Reaksinya? Ia menonjok lenganku hingga sedikit memar. Kalau itu pertanda ia tertarik kepadaku, rasanya sebulan menjalin hubungan dengannya aku bisa mati di tangannya.
“Seekor jantan dari keluargaku,” jawab Ratih dengan lantangnya. Yang membuat semua mata manusia menatap ke arahnya. Dari perkataannya, aku tahu siapa yang ia maksud. Bang Rey, kakak lelaki Ratih yang sedang bekerja di Australia. Kulihat respon yang diberikan Lana adalah negatif. Ia menggeleng kencang-kencang hingga rambut sebahunya yang ia ikat lepas dari ikatannya.
“Kita kan sudah berjanji tidak akan terkena virus merah jambu itu. Merusak hati saja. Lagipula, aku tidak suka dengan kakakmu itu. Dia kan sedang bekerja di negeri lain. Rusuk tidak mau jauh-jauh dari tubuh lelakinya,” kata-kata yang keluar dari Lana langsung membungkam mulut Ratih. Untuk mencairkan suasana, aku mengobrol dengan mereka berdua. Saat aku sedang asyik bercanda dengan Ratih, mataku menangkap sebuah tatapan. Seseorang yang tak pernah mau menatap mata orang lain, sedang menatapku!

Saat pertama dia memperkenalkan diri, aku langsung teringat dengan genre musik yang sangat kugandrungi. Rasta. Namun itu bukan berarti aku menyukainya. Di antara semua makhluk yang ada di kampusku, ada satu yang paling unik. Seorang pria bernama Desta. Wajahnya cukup tampan dengan rahang keras yang mempertegas wajahnya dan sepasang mata yang penuh misterius. Tidak ada yang tahu warna bola matanya itu apa. Aku pernah mendengar dia berkata kepada Lana, bahwa siapapun yang mengetahui warna bola matanya, tentu ia akan mudah masuk ke dalam hatinya. Lana dan Desta ini terkenal sebagai pasangan unik. Padahal mereka tidak berpacaran. Dan aku merasa cemburu atas gelar yang menempel pada mereka. Perlu kuakui, aku memang menyukai salah satu di antara Desta dan Rasta. Seseorang yang sama sekali belum bisa kusentuh, seseorang yang bagaikan angin dalam kehidupanku; ada, namun tak bisa kuraih. Ia dekat tapi begitu jauh.
“Kalungmu bagus, Tih,” ucap Lana saat melihat kalung yang baru kubeli, “kenapa inisialnya D?” pertanyaan yang diucapkan Lana membuatku gugup.
“Y-ya aku suka huruf D, Na. D kan berarti Dragon Ball.” Ucapanku sangat ngawur dan membuat Lana curiga.
“Desta ya?” tanya Lana kepadaku. Jantungku terasa merosot ke lututku. Aku hanya tertawa mendengar tebakan jitu Lana.
“Bukan kok. Desta kan sahabat kita, Na.” Aku yakin, jawabanku sama sekali tidak memuaskan Lana. Tapi kulihat ia mengangguk. Biasanya ia akan mendebatkan segala sesuatu hingga tuntas. Kuharap Lana tak kan tahu bahwa D selamanya merujuk kepada Desta.

“Des, kemarin mataku menangkap sesuatu yang aneh,” kata Lana kepadaku. Aku tertawa mendengar ucapannya. Dan dia menepuk punggungku dengan keras.
“Hih! Kok ketawa? Aku serius loh. Kemarin aku lihat Ratih senyam senyum melulu. Tidak biasanya kan perempuan itu bertingkah seperti orang gila. Aku dengar dari teman sekelasnya bahwa dia sedang terkena virus merah jambu. Ah, sepertinya dia memang gila.”
Lana berpendapat bahwa virus merah jambu membuat kami gila dan kami harus segera divaksin agar tidak terkena virus tersebut. Padahal, itu adalah suatu hal yang sangat manusiawi. Tapi pendapat Lana harus selalu kami iyakan agar ia merasa puas.
“Memangnya ada yang salah dengan virus itu? Tanpa virus itu, mama papa kamu tidak akan memiliki kamu loh, Na. Sepertinya ada yang harus diubah dari cara pemikiranmu.”
“Kamu itu siapa sampai mau mengatur aku? Orang tuaku saja tidak ada yang merasa keberatan dengan pemikiranku yang seperti ini!” bentaknya kepadaku. Tidak biasanya Lana sebuas ini.
“Oke oke. Sepertinya ada yang ingin kamu bahas, ya? Mari kita berdiskusi, Nona.” Dalam hati aku berharap agar kebuasannya bisa sedikit aku jinakkan. Kulihat dia menarik napas dalam-dalam; pertanda ia akan menyampaikan khotbah.
“Begini,” ucapnya sambil menunduk, “aku tidak akan menyampaikan hal ini kalau ini tidak penting untuk kita semua. Menurutku, jatuh ke dalam kubangan merah muda itu memang hal yang wajar. Tapi akan menjadi tidak wajar bila kita jatuh ke dalam kubangan yang salah. Dan aku rasa, Ratih telah memilih kubangan yang salah,” Lana segera menggigit bibirnya, seolah ada sesuatu yang salah.
“Ada apa?” tanyaku kepadanya. “Aku tahu kamu tahu sesuatu yang terjadi. Ada apa? Untuk sementara, hilangkan dulu segala prolog yang ingin kamu sampaikan. Kita bisa segera masuk ke dalam bab inti,” kataku sambil memegang tangannya. Dari tangannya, aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang benar-benar Lana risaukan. Dan yang kudapat hanya gelengan kepalanya.
“Mungkin aku terlalu berlebihan, Des. Lupakan saja ya,” dia menampilkan senyuman yang paling kubenci, senyuman yang terpaksa.
Tiba-tiba saja, aku mengerti apa maksud semua perkataan Lana tadi. Dan itu membuatku memegang tangannya erat-erat. Dari ujung organ yang paling terlarang untuk kami lihat, ada sebutir air yang ditahan untuk tidak meluncur di pipinya. Lana pun menangis. Baru kali ini rasanya aku bisa melihat sisi kewanitaannya. Tergesa, aku memeluk Lana. Biar segala resah dan gundah hilang sudah.
“Aku tahu apa yang kau resahkan, Nona. Jangan resah. Pintu hatiku hanya dapat diketuk satu kali,” aku dapat merasakan Lana mempererat pelukannya. Dan itu berarti suatu jawaban pasti untukku.

Aku lupa detik yang ke berapa Rasta menatap mataku. Ia seperti tercengang bisa melakukan sesuatu yang amat aku larang. Tapi aku tak merasa apa-apa. Tak ada gejolak apapun. Berbeda saat aku menatap mata Desta. Ada sesuatu yang aku rasakan. Sesuatu yang sempat kutentang keberadaannya, sesuatu yang sempat kubuang jauh-jauh, sesuatu yang bernama rasa. Bahkan, saat ia memelukku karena perasaan kalutku saat tahu Ratih sedang kasmaran, aku benar-benar lupa akan segala peraturan yang pernah kubuat. Aku tak kan bersikap seaneh ini bila Ratih tidak membiarkan hatinya terus menurus mengucapkan nama Desta. Kalau aku tidak salah, saat Desta memelukku, detak jantungnya menjadi liar. Aku rasa aku tahu apa yang sedang terjadi.

Kemarin, mataku menangkap sesuatu yang tak sepantasnya aku lihat. Mataku melihat Desta sedang memeluk Lana erat-erat. Ini salah. Ini tidak benar. Tak jauh dari tempatku berdiri, Ratih sedang menatap dengan diam ke arah mereka. Aku tahu bahwa Ratih sangat menggilai Desta dan aku diam-diam menjadi pengagum keunikan Lana. Dan di hadapan kami, terpampang dengan jelas bahwa mereka sudah memilih jalannya masing-masing. Aku menghampiri Ratih dan segera membawanya pergi dari situ. Aku dan Ratih sama-sama terjebak di ruangan yang belum pernah kami intip.

Hari ini tepat satu tahun aku menikah dengan seorang perempuan hebat yang pernah aku kenal. Hari ini juga, kami resmi memiliki hunian tetap yang cukup megah dan mampu diisi oleh enam orang anak. Sedari tadi, kami iseng membuka surat, foto dan kado saat kami masih berstatus sebagai sahabat. Ada satu kertas kumal yang sangat menyita perhatianku. Aku tahu persis yang menulis di kertas tersebut adalah Lana.
Ada sepasang mata yang ingin aku cungkil dan kusimpan untukku seorang. Dan itu matamu, Rajasa Desta.
Tiba-tiba ada sejuta haru masuk ke dalam hati. Entah mengapa aku merasa ruangan ini penuh dengan asap sehingga membuat mataku pedih. Kupejamkan mataku agar aku tidak terjebak di masa lalu. Saat membuka mata, kertas itu hilang. Ternyata kertas itu sedang dibaca oleh wanita yang perutnya membuncit sejak lima bulan lalu. Aku menghampirinya.
“Kok direbut? Kertas itu sedang aku baca,” kataku sambil mengelus perutnya.
“Buang saja, tidak penting,” jawabnya dengan dingin. Aku merasa kaget dengan reaksinya yang terkesan tidak menyukai apa yang tertera dalam kertas itu. Ia menarik nafas, “kalau aku nekat mencukil matamu, kamu tidak akan bisa melihat wajah anakmu akan seperti apa.” Kemudian ia tertawa. Dari matanya, aku melihat binar kebahagiaan yang selama ini ia tutupi karena ketakutan akan orang baru. Dari matanya, aku sedikit mengintip tentang dirinya. Sedikit saja, tak perlu banyak-banyak. Toh aku sudah bisa memasuki hatinya. Yang kutahu, ruangan yang ada di dalam dirinya akan penuh dengan segala kebahagiaan bersamaku.