Bersama
sahabatku, aku terdampar disebuah kota asing yang belum pernah ku
kunjungi sebelumnya. Bogor! Kota dingin sedingin kantongku.
Entahlah.
Kedudulan atau kenekatan kami melalang buana tanpa mikir banyak modal
untuk bertahan hidup di kota segedhe metropolitan dan bogor. Yang ada
dipikiran kami saat hendak berangkat hanyalah menggunakan kesempatan.
“Kapan lagi kita dapat kesempatan naik pesawat ke Jakarta, lagian kita
kan belum pernah kesana”. Celetuk Rinta sahabatku, saat ditawari dua
ticket pesawat Surabaya-Jakarta. Dan aku langsung mengiyakan tanpa pikir
panjang mengenai kepulanganku. Dudul banget kan?! Dan itupun kita masih
nekat pergi ke Bogor.
Belum
juga pulang, uang saku yang hanya cukup makan dua hari itu sudah nipis.
Dan ini sudah hari ketiga tapi uang kita masih sisa. Memang kita tidak
terlalu memikirkan urusan perut. Dan yang membuat kami bisa sampai Bogor
tanpa mengurangi uang saku kami adalah dengan “Ngamen”.
Bayangin
aja kami bisa naik bis Gratis dan dapat tambahan uang pula sepanjang
Jakarta-Bogor, ya butuh pengorbanan juga kita harus Naik-Turun sebanyak
lima bus. Wah, jangan Tanya tentang kemaluan kami. Kami nggak kenal kok
dengan bapak, ibu, mas-mas dan mba-mba yang naik bus ini. Sudah kami
bungkus rapat-rapat demi sebuah petualangan.
Sewaktu
kembali ke Jakarta mungkin kami bisa naik bis gratis lagi. Sedangkan
untuk ke Surabaya?!, tidak mungkin jika kami harus ngamen lagi. Jarak
tempuh yang sangat lama, memungkinkan kami bisa sampai lima hari tiba di
Surabaya dan pindah naik turun bisa sampai berapa puluh kali?.
Sedangkan keesokanya kamipun harus kembali kuliah.
Pertolongan
Tuhanpun tiba, saat ngamen antara kota Bogor-Jakarta kami nyasar pada
sebuah bus yang penumpangnya semua berbaju putih. Syetan?! Bukan
kelihatannya baik semua. Jin?! Bukan juga, tapi penumpangnya adalah
sekumpulan club haji yang sedang kembali dari tour menuju Semarang.
Tidak
seperti kebiasan ngamen, usai nyanyi kami tidak langsung minta royalty.
Tapi Rinta sahabatku yang penuh cinta, menawarkan jasa pijat kepada
para penumpang yang kelelahan itu. Subhanalloh, dapat respon positif. Di
tengah memijat kami selipkan cerita perjalanan kami, banyak yang tidak
percaya dengan kenekatan kami. Ada juga yang tidur terlelap oleh cerita
kami. Huh! Capek tidak kami rasakan, asal kami bisa pulang. Dan sampai
di kota Semarang kami bisa menghabiskan lima belas, ya habis capeknya
berpindah ke kami. Dan Alhamdulillah akhirnya terkumpul uang untuk beli
ticket kereta yang akan membawa kami ke Surabaya setelah salah seorang
yang baik hati melengkapi kekurangannya.
Karena
petualanganku inilah, aku tidak pernah membenci pengamen. Hidupku
pernah terselamatkan dari mengamen. Dan dariku selalu ada cinta untuk
Pengamen