Dia Bukan Jodohku, Sebab Cinta Tak Harus Memiliki


Okti, Mahasiswa baru yang berhasil memikatku. Sejak awal menjadi panitia Ospek, mataku sudah tertuju padanya. Padahal Okti juga berasal dari Aliyah yang sama denganku di Jombang. Bahkan satu pondokan, aku di pondok putra dan Okti di pondok putri. Tapi aku tidak pernah melihatnya mungkin karena kesederhanaanya, Okti tidak terlihat olehku yang ketika itu sering menjadi idola karena kepawaianku dalam kejuaraan Voley di sekolah. Dan entah dengan caraku tak kubiarkan orang lain mempermainkannya seperti boneka ospek anak-anak baru lainnya. Tanpa menunggu lama setelah aku tahu tentang dirinya, kuputuskan untuk menembaknya meski aku belum pernah pacaran sekalipun menembak lawan jenis karena sifatku yang pemalu. Namun ajaib kali ini aku berhasil memacarinya.
Empat tahun lebih kujalani kisahku bersama Okti. Bisa kubilang hampir sempurna tanpa cacat. Bukan berarti tidak pernah ada masalah, selayaknya hubungan di antara manusia, semua itu ada tapi tidak akan ada artinya.
Jalinan cinta kami bukan seperti Romeo-Juliet, Rama Shinta ataupun Laila-Majnun. Lebih dari itu, jika dalam agama Islam ada syari’at, hakikat dan ma’rifat maka cinta kami telah memasuki gerbang hakikat di hati kami masing-masing.
Allah SWT yang menjadi pengikat cinta kami dan Rosululloh-lah teladan untuk saling menjaga cinta ini.
Yaa, aku hanya ingin lebih bertanggungjawab pada komitmen awal hubunganku, untuk selalu menjaga Okti. Hanya aku orang terdekatnya di kota ini, jauh dari orang tua dan keluarga membuatku ingin lebih menjaganya. Dan akan kujaga calon mahkotaku. Begitu aku selalu meyakinkan diriku bahwa Okti adalah calon Istri yang paling tepat untukku.
Hingga di setiap kepulangannya ke desa tak kubiarkan Okti sendirian. Empat tahun tidak pernah bosan pulang-pergi Magetan-Malang hanya untuk memastikan Okti akan baik-baik saja dari rumah hingga kembali ke tempat kosnya.
Pacar! Mungkin itu status yang kami sandang di mata teman-teman. Pacar-pacaran yang banyak menjamur di kampus sebagai penghibur kuliah. Tidak! Tidak akan pernah ada yang mengerti tentang ini, tentang hati kami, tentang semua yang terjadi dan yang kami alami. Tidak akan pernah mengerti sekalipun detail aku ceritakan. Dan memang biarlah hanya kami yang mengerti dan merasakannya.
Hingga tak ada keraguan, kami saling mengenalkan keluarga masing-masing. Aku yang sering bertandang kerumahnya tidak adil jika Okti tidak kukenalkan dengan keluargaku.
Hangat dan ramah sambutan keluargaku terhadapnya. “Alhamdulillah, aku tidak salah pilih. Memang Okti wanita sempurna dan calon istri Sholikha untukku” begitu batinku.
Namun beberapa minggu setelah kedatangannya ke rumah. Ibu berucap, “ada firasat ibu yang tidak baik nak, Okti bukan untukmu. Kalian tidak akan bisa bersama”
Astagfirullah, ibu yang selalu aku nantikan kebaikan doanya, mengatakan hal yang seharusnya tidak beliau ucapkan. Tapi aku yakin ibu tidak asal bicara. Ibu sangat merestui hubungan kami begitu pula ayah. Kriteria calon menantu yang diharapkan, semua ada padanya. Lalu apa maksudnya ucapan ibu??
Aku terus mencari jawaban yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tapi aku penasaran dan akan kubuktikan ucapan ibu tidak benar. Kuamati kesalahan-kesalahan terkecil barangkali aku kurang teliti terhadapnya. Tidak juga kutemukan.
Berharap dapat jawaban darinya aku ceritakan apa yang terjadi. Oktipun sama sepertiku, tidak percaya akan ceritaku. Aku percaya Okti, Oktipun percaya penuh kepadaku. Tidak ada yang disembunyikan di antara kami.
Sampai menjelang wisudanya, baru Okti mengatakan sesuatu yang belum pernah ia tahu sebelumnya. Sesuatu yang tidak Okti kehendaki. Sesuatu yang benar-benar menyakiti kami, ternyata Okti sudah ditunangkan dengan pria pilihan orang tuanya sejak awal kuliah yang tidak pernah ia tahu. Okti tidak bisa memilih antara aku dan orang tuanya. Aku orang yang dicintainya dengan orang tua yang selalu diharapkan kebahagiaannya.
Tipisnya perbedaan antara sedih dan bahagia membalikkan kisah yang telah kami rajut sejak awal hingga akhir kuliah.
Dan Allahpun benar-benar membuka mataku, membuka hatiku bahwa jodoh memang kuasa Allah. Bukan haq-ku mengatur jodohku. Bukan haq-ku pula mengatur jodohnya Okti. Sebab cinta tak harus memilikinya, maka kubiarkan Okti pergi dengan setumpuk doa agar Okti lebih bahagia bersama calon keluarganya[.]