Wanita bergaya khas metropolis itu selalu datang setiap malam. Ia
cantik, dan memang selalu berpenampilan menarik. Berbagai macam warna
gaun, sepatu atau tas, bahkan perhiasan telah dipakainya setiap malam.
Ia tak terlihat bahagia atau muram, tak ada yang berubah di setiap
malam.
Seperti biasa dia duduk di kursi emper pinggir jalan. Selalu
lamunannya datang tentang masa silam. Saat sedia memandang langit
berbintang, kini berubah kian tentang sebuah masa yang telah terlewat,
sebuah gejolak alur dari kehidupan lampau…
Dinda terkapar. Pagi ini ia hanya meratapi sisa tangis semalam. Suara
tangis dan jerit dari wanita itu membuatnya kalut. Sebagai seorang
labil ia sangat malu dan sedih. Sebagai seorang labil ia sangat marah.
“Dinda.. buka Nak, ayo sekolah ini sudah siang” seorang mengetuk pintu dari luar.
“Aku gak mau sekolah!”
“Ayo buka Nak..” Ia membujuk Dinda.
“Dinda lebih baik mati dari pada sekolah!”
“Buka dulu pintunya Nak, Mama bisa jelaskan..”
“Gak usah, aku gak mau lihat Mama lagi!!” Dinda menyeludupkan kepalanya di bawah bantal.
“Dinda.. buka Nak, ayo sekolah ini sudah siang” seorang mengetuk pintu dari luar.
“Aku gak mau sekolah!”
“Ayo buka Nak..” Ia membujuk Dinda.
“Dinda lebih baik mati dari pada sekolah!”
“Buka dulu pintunya Nak, Mama bisa jelaskan..”
“Gak usah, aku gak mau lihat Mama lagi!!” Dinda menyeludupkan kepalanya di bawah bantal.
Di rumuskannya berbagai kejadian memalukan yang membuatnya tidak lagi
bersedih, melainkan telah membuat klimaks kemarahan di ubun-ubunnya.
Dia sebenarnya ingin bergeming, tapi saat ia bergeming rasa malu yang
menjadi amarah meruntuhkan tekadnya. Dinda memang masih labil, dan wajar
rasanya jika ia berperasaan demikian.
Kini ia sudah tak tahan lagi! Mendengar cemoohan teman-teman sekolah atau tetangga sekitar rumah membuatnya mati berdiri.
Dinda masih tak percaya saat kejadian semalam yang meruntuhkan
pendiriannya. Ia melihat dengan mata kepala sendiri, ibu yang sangat
dibanggakannya tengah dirangkul sang hidung belang kaya untuk masuk
penginapan.
Kala itu Dinda tersergap. Wajahnya pasi tanpa kedipan. Apa selama ini
ia telah dibodohi oleh ibunya sendiri? Apa selama ini ia yang terlalu
naïf? Ternyata dalam kasus seorang gadis remaja yang labil ini cemoohan
tetangga lah yang menang. Dinda harus menelan kenyataan, bahwa ibunya
memang wanita j*lang. Sia-sia sudah selama ini ia membela dan tidak
membenarkan sesuatu yang memang demikian kenyataannya. Jangankan
sekolah, berjumpa matahari pun rasanya Dinda tak sanggup, malu sekali!
Apa lagi yang akan dikatakan teman-temannya, tetangganya? Apa lagi yang
akan dibelanya? Dinda rasa sudah tak ada!
“Dinda..!” Ibunya mengetuk lagi.
Kali ini ia bersedia membuka pintu kamar. Tapi tak sempat ibunya berucap, ia sudah berlari pergi..
“Dinda ingin mati!!” teriaknya sambil berlari.
Sebagai naluri ibu ia mengejar Dinda. Wanita paruh baya ini sangat
mencintai gadis tersebut lebih dari apapun, lebih dari dirinya sendiri.
Walaupun ia harus terpaksa menjual kehormatannya demi kehidupan Dinda,
puteri semata wayangnya. Dia berfikir, apa sih yang bisa dikerjakan di
dalam kota besar oleh seorang wanita yang mulai tua, tak berpendidikan
dan tak memiliki keahlian.. ia hanya seorang janda yang hidup berdua
dengan putrinya di tengah kebutuhan hidup yang menggunung. Apa lagi yang
bisa dikerjakannya agar dapat memenuhi itu semua..
Tapi kini Dinda terlanjur dan terlalu kecewa untuk mengerti semua hal itu. Yang bisa dilakukannya kini hanya berlari dan menangis, yang di fikirkannya kini hanya rasa malu dan ingin mati!
Tapi kini Dinda terlanjur dan terlalu kecewa untuk mengerti semua hal itu. Yang bisa dilakukannya kini hanya berlari dan menangis, yang di fikirkannya kini hanya rasa malu dan ingin mati!
Dia sampai di sebuah tempat yang selalu dikunjungi khalayak ramai. Ia
sangat sendiri dan kesepian di keramaian. Dinda ingin mengadu, ingin
bersandar, ingin teriak dan luapkan.. naas tak ada tempat atau seorang
pun yang dapat menjadi pelampiasnya. Dinda semakin hancur, ia
membulatkan hati untuk menghentikan rasa malu ini.
Melihat kendaraan panjang besar yang melaju secepat kilat akan segera
lewat, Dinda berlari menghampiri, menunggu kereta itu menghantam
tubuhnya. Rasanya mati lebih asyik, atau mungkin tak pernah hidup yang
lebih baik.
“Dinda..! awas Nak..”
Naluri ibu bertindak lagi. Dengan cepat wanita itu berlari ke arah Dinda dan hulu kereta..
GLLKK..
Dia terlentang. Sesaat lalu adalah nafas terakhirnya. Di tengah ramainya insan yang mengerumuni, seorang gadis yang ingin mati pecah tangisnya lagi..
Wanita yang rela mengorbankan apapun untuknya itu kini telah tiada. Terlempar sejauh 15 meter membuatnya meregang nyawa, tubuhnya penuh luka berlimpah darah.. wanita itu benar-benar sudah tiada..
Naluri ibu bertindak lagi. Dengan cepat wanita itu berlari ke arah Dinda dan hulu kereta..
GLLKK..
Dia terlentang. Sesaat lalu adalah nafas terakhirnya. Di tengah ramainya insan yang mengerumuni, seorang gadis yang ingin mati pecah tangisnya lagi..
Wanita yang rela mengorbankan apapun untuknya itu kini telah tiada. Terlempar sejauh 15 meter membuatnya meregang nyawa, tubuhnya penuh luka berlimpah darah.. wanita itu benar-benar sudah tiada..
Tiid.. Tiid..!
Klakson mobil sporty memecah fatamorgana, menyeretnya keluar dari lamunan yang takkan terlupa.
“Dinda sayang.. Ayo..”
Wanita cantik itu terperanjak dari duduk, mendekat pada jalanan lalulintas kota, masuk dan duduk ke kursi sebelah pria bergaya maskulin yang memegang stir kemudi.
Lalu mereka pergi..
Klakson mobil sporty memecah fatamorgana, menyeretnya keluar dari lamunan yang takkan terlupa.
“Dinda sayang.. Ayo..”
Wanita cantik itu terperanjak dari duduk, mendekat pada jalanan lalulintas kota, masuk dan duduk ke kursi sebelah pria bergaya maskulin yang memegang stir kemudi.
Lalu mereka pergi..