PENANTIAN ITU TERASA SAKIT

MALAM kembali menyapaku, menyapa aku yang lagi-lagi disini merasakan jemariku saling berkejaran. Ini rutinitasku, yah setidaknya aku lebih mempercayai benda mati tak bernyawa ini untuk menyimpan rahasia kecil yang aku tak ingin orang lain mengetahuinya. Oh iya, kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Jadul ya pantunnya? Ya emang sih, hey tapi hal itu benar kok, hehe. Jadi aku mau kenalan sama kalian.

Aku zizi, yah lebih tepatnya Zifanna Ayu Kartika. Aku yang tergolongkan sebagai anak yang mendapatkan fasilitas yang lebih dari cukup. Aku yang mendapatkan orangtua super konglomerat. Dan aku yang… merindukan kasih sayang yang lebih dari mereka, yah orangtuaku. Sekilas, aku terlihat seperti anak yang sangat ceria. Kalau ditanya seputar prestasi, aku termasuk yang berada di atas rata-rata dan aku juga mewakili sekolah ku dalam lomba karya ilmiah nasional, kalau menyangkut soal fisikku, sssttt rahasia kita ya. Kata orang-orang sih aku cantik, baik ramah supel dan mudah bergaul yah mungkin karena itu sekolah merekomendasikanku ke ajang abang-none Jakarta. Memang sih, aku menang dan menyandang predikat none Jakarta. siapa coba yang gak kenal zizi? Si pintar berparas putih. Tapi, kesempurnaan yang aku genggam itu malah membuatku merasakan tekanan batin. Hey, lihat! Hanya karena aku terkenal dan teman-temanku datang hanya disaat aku bahagia. Mereka tak pernah ada disaat aku butuh, mereka seperti angin topan yang datang tiba-tiba dan kemudian pergi hilang tak tersisa.


Hal lain yang membuatku merasakan tekanan batin adalah, orangtuaku. Sebenarnya apa mau mereka? Hanya karena mereka telah memberikan semua fasilitas yang bertaraf di atas rata-rata, bukan berarti aku senang!. Aku bahkan hampir selalu merindukan pertemuan jamuan makan malam kami yang terakhir kali aku rasakan 6 tahun yang lalu, kalau tidak salah sewaktu aku sd. Ooh bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada diii dalam hatikuuu Oke selaan ceritaku kembali terpotong karrna deringan handphoneku. Ah ini pasti bunda. Aku sengaja membedakan nada dering bunda dengan lainnya. Biarlah, pasti pesan singkat Dan… “sudah malam, tidurnya bunda sama ayah baru pulang. Bunda sayang kamu” haha sudah, sudah tertebak. pasti lagi-lagi pesan singkat itu datang setelah lewat tengah malam. aku tak tau kenapa pesan singkat itu isinya bisa sama persis. Apa ‘dia’ mempunyai aplikasi yang terlalu canggih bahkan untuk hal yang sesingkat itu. Apa mereka tak merindukanku? Apa mereka tak ingin membacakan sedikit bahkan hanya dengan mendatangi kamarku dan berkata “selamat tidur zizi” … Tuhan, adilkah ini?
Jemariku berhenti berkejaran, entah saraf apa yang mendorongnya untuk tetap terus bisa mencurahkan isi hatiku. Aku melemah, mata ini rasanya ingin beristirahat untuk sejenak. aku terlelap dalam mimpi hitam-putihku tentang aku dan mereka…
“Non, bangun non sudah pagi ini”, bujuk mbok nah Lagi-lagi mbok nah yang membangunkanku. Tak bisakah aku mendengar suara lembut bunda yang dulu sewaktu pagi selalu aku dengarkan dan aku sengaja bangun bermalasan untuk hanya sekedar mendengarnya? Atau ini karena sudah terlalu banyak keinginan? Terlalu banyak pengharapan? Terlalu banyak kata penantian dan waktu yang … ah entahlah… Penantian itu layaknya kapur tulis. Semakin digoreskan ke papannya, semakin ia aus dan akhirnya habis. Iya, seperti itu juga penantian. Semakin waktu terbuang, semakin jenuh dan akhinya terhenti dirasa sakit. Mungkin bukan sakit, hanya saja menjadi dingin dan tak berasa. Bunda, sampai kapan kerinduan ini berhenti, kerinduan ini layaknya aku merindukanmu yang seakan-akan telah pergi dari dunia? Bunda, kapan lagi aku mencium tangan lembutmu yang akan mengantarkan ku ke sekolahanku seperti disaat aku masih berusia di bawah belasan tahun? Bunda, beginikah akhirnya aku merasakan titik kerinduan yang teramat sangat padamu, bahkan kita berada di satu atap yang sama? Ayah, satu kata yang ingin aku tanyakan. Mengapa ini terjadi padaku? Atau memang aku sengaja mendapat kutukan ghaib sehingga kalian tak pernah lagi ingin menyapaku. Tuhan, masukkan keduanya ke dalam mimpiku. Sekali saja… Sebisa apapun aku berharap dan bermimpi, takkan ada perubahan akan ini. Bahkan aku terlalu bodoh untuk menuliskan permohonan di secarik kertaas masa smp ku. “Zizi ingin pergi ke bioskop bareng ayah bunda” Masa smp yang suram, hingga sampai saat ini yah tetap saja merasakan kesuraman.
Sampai aku akhirnya memberanikan diri atau lebih tepatnya nekat untuk aksi menghabisi nyawaku sendiri. Aku tau, bunuh diri itu sakit. Alam bahkan tak menerimaku. Tapi, ini jauh lebih sakit dari apa yang orang lain bayangkan. Dan saat yang kutunggu tiba, ah seperti merasakan gejolak. rencana nekatku berhasil. Aku mengalami kejang-kejang setelah meminum habis alat pengharum riuangan 800 ml. Mulutku berbui, iya seperti orang yang sedang sayco barangkali. Dalam keadaan sekarat itu, aku bahkan dengan hinanya mengharapkan aku masih tetap hidup. Setidaknya sampai ayah dan bundaku datang untuk melihat aku dan keadaan kritisku. Yang aku hanya ingat, yang menolongku saat itu adalah mbok nah. Dia yang melarikanku ke rumah sakit terdekat. Dan setelah itu aku tak mengingat apapun.
Entahlah, aku merasa kalau raga dan ruhku tak bersatu lagi. Tapi kemudian… Iya, sekarang aku terbangun dan melihat bunda yang terlelap bermandikan air mata, tertidur di sampingku dan menangisiku. Atau mungkin bukan menangisiku, barangkali menangisi kebodohannya yang menyia-nyiakan anaknya, aku. Tak kalah dengan bundaku, ayah yang kulihat sedang khusyuk berdoa agar aku sadar dari masa tenggat ku untuk mencapai kematian. Ternyata, harus sedramatis ini memang agar aku bisa mendapatkan penantianku agar mereka mau memperhatikanku. Biarlah, biar sesakit apa aku dengan rasa penantianku. Biarlah aku merasakan rasa sakit yang tak tertahan ini. Yang aku mau, tuhan. Maafkan aku, hukumlah aku sesuai apa yang telah aku lakukan dan satu lagi, Trimakasih, Tuhan…