Cinta Sungguh Membuatku Gila

Gemericik air yang jatuh dari shower kamar mandiku membawa lamunanku terbang kepada sosok dua orang pemuda yang kini tengah menggerogoti pikiranku. Ku tengadahkan wajahku dan merasakan belaian air yang tercurah, kedua tanganku gemulai memainkan rambutku yang mulai basah, aku mengelusnya dari pangkal hingga ujungnya. Sesaat kemudian ku hembuskan nafas lewat mulutku, Nampak titik-titik air yang yang berloncatan karena terdorong oleh nafas dari mulutku. Perlahan tangan ini merayap kebagian bawah dari tubuhku, kuusap leherku mulai dari depan hingga belakang, penuh penghayatan jari-jemariku mengusap pada area leher. 

Lalu turun dan menyusuri tiap lipatan kulit dibagian depan tubuh ini, untuk beberapa saat jemari tanganku berhenti pada dua gundukan buah dadaku. Lalu ku elus dan terkadang sedikit meremasnya, ada sesuatu yang ku rasakan dan terasa mengganjal dalam diri ini. Membuat nafasku sedikit tersengal. Cepat ku akhiri gerakan mengelus dan meremas ini, karena semakin lama membuat angan-anganku kian melambung jauh dan membawa ingatankupada gerak liar penuh nafsu yang pernah aku rasakan beberapa waktu lalu ketika bersama Andi. 


Perkenalanku dengan Andi terhitung sangat singkat, hanya satu bulan dan akhirnya dia menyatakan perasaannya padaku. Dan seolah dia mengetahuinya, jika aku tak akan berani menolak cintanya, dia pun mengutarakannya ketika sampai didepan rumahku. 

Saat itu aku sungguh bimbang, karena bagai manapun aku akan menyakiti perasaan Ramlan yang sudah begitu mantap menjalin keseriusan hubungan denganku. Dan aku mengenalnya bukan hanya sekedar sebulan atau dua bulan, sudah bertahun-tahun aku mengenal Ramlan. Dia memang lelaki yang setia dengan cintanya. 

Kini aku telah mengkhianatinya dan menduakan cintanya, aku tak mengerti dengan perasaanku. Harusnya aku bisa untuk memutuskan memilih salah satu diantara mereka berdua, bukannya membagi waktu dengan mereka berdua. Aku takut suatu saat permainan gilaku ini mereka ketahui, aka nada yang merasa sangat tersakiti. 

Perlahan aku mulai mengurangi kebersamaan ku dengan Ramlan, dia begitu percaya dengan alasan yang aku utarakan mengenai kesibukkanku selama aku menjauh darinya. Cukup.! Harusnya aku mengakhiri sandiwara yang aku lakukan ini, tapi lagi-lagi aku tak kuasa untuk mengambil keputusan. Jalan itu selalu buntu dan berujung dengan kata ‘aku tak bisa’ dan tak bisa.! Benar-benar tak bisa. Karena Ramlan tak pernah bermain curang terhadapku. 

Sungguh aku tak mengerti dengan cinta ini, mengapa aku harus merelakan kehormatan yang selama bersama Ramlan selalu aku jaga. Tetapi bersama Andi, justru sebaliknya. Dan kini aku merasa khawatir jika kedepannya Andi merasa bosan dan kemudian meninggalkanku, aku tak ingin mengalaminya dan hal seperti itu jangan sampai terladi. Kembali kuyakinkan diri ini, jika Andi tak akan berlaku seperti itu. Bukankah dia sangat mencintaiku.? Dan aku yakin itu…. Edan.! Cinta sungguh membuatku menjadi gila karenanya.

 “Kriiiiiiiiiiiiinggg.!” Lamunanku pun buyar, ketika ku dengar handphone ku berbunyi. Cepat ku sambar sebuah handuk dann melilitkannya pada tubuh ini, ketika ku tengok layar Handphone ternyata Andi yang menelponku, cepat-cepat ku angkat panggilan itu. 

“Sayang, kamu dimana.? Aku didepan kampus kamu nih !.” aku tertawa kecil mendengar perkataannya, mengapa dikiranya hari ini aku kuliah. Padahal tadi pagi aku mengabarkan kepadanya, jika hari ini aku membolos. “Aku dirumah An, kamu ngapain ke kampusku? Bukankah tadi pagi aku sudah mengabarkannya melalui SMS yang aku kirim.” 

Dari seberang terdengar perkataan Andi yang serba salah karena menurutnya dia merasa tidak menerima SMS seperti itu. “Sudah, kamu ke rumahku saja ! jangan uring-uringan seperti itu didepan kampusku.” Sambil menyudahi pembicaraan, aku tertawa kecil membayangkan kelakuannya. Lalu setelah itu ku kirim sebuah SMS dengan kabar yang berisi sebuah kata-kata agar dia jangan sampai kedepan rumah. “Tunggu didepan gerbang saja ya An, nanti aku menyusul.”  Tak lama kemudian satu balasan SMS masuk kedalam kotak pesan, ketika kubuka dia berkata “Ok.!” 

Aku merasa belum siap memperkenalkan Andi pada keluargaku, untuk saat ini. Memang sih, terkadang Mama suka bertanya jika Andi mengantarkan aku sampai didepan rumah, ketika sepulangnya dari kampus. Namun selalu ku jawab jika dia teman kampus yang kebetulan satu arah denganku. Mamaku orangnya tak mau ambil pusing, jika aku berkata seperti itu maka Mama berlalu begitu saja.